"Minggu ini aku mau pergi sama Angga."
"Duh, jangan Cilla. Dia tuh orangnya ga banget."
Ya, 'kan. Sudah kuduga Amel akan berkata begitu. Aku tak pernah mendapat persetujuan darinya untuk berkencan dengan siapapun. Padahal aku sahabatnya. Heran deh, sama Amel.
"Kenapa lagi kali ini?"
Aku menghela napas perlahan, menunjukkan ketidaksukaanku dengan pernyataan Amel tadi.
"Dia teman kita dari kecil, 'kan. Jadi kamu pun tahu sifatnya. Jangan bilang dia playboy, aku tahu dia nggak pernah pacaran sebelumnya."
Tentu saja raut muka Amel berubah. Terus saja kutatap matanya, berusaha mencari kebenaran darinya.
"Mel, kenapa sih kamu selalu aja larang aku setiap aku dekat sama cowok?"
Amel terdiam. Matanya menyusuri tanah, seakan tak berani menatapku.
"Aku..."
Amel menggantung kalimatnya, membuatku penasaran tentang apa yang ada di pikirannya.
"Mel, aku nggak tahu apa yang kamu pikirkan kalau kamu nggak bilang apapun padaku. Aku akan tetap pergi sama Angga akhir pekan ini. Aku nggak mungkin terus-terusan membatalkan janji dengan siapapun karena kamu bilang jangan."
Aku meninggalkan Amel begitu saja.
Aku tak tahu apa yang ada di benak Amel setiap kali ia melarangku untuk menerima ajakan kencan laki-laki manapun. Apa ia kira aku tak bisa menjaga diriku sendiri? Dia pikir dia ibuku? Bisa melarangku kapanpun ia mau. Aku tak suka, seakan ruang gerakku dibatasi olehnya.
+x+
"Cilla, udah nunggu lama?"
Oh. Itu suara Angga. Ia sudah datang rupanya.
Hari ini Hari Minggu, kami berjanji untuk bertemu di halte dekat perumahan. Lalu kami menunggu bus untuk pergi ke toko buku sebelum makan siang bersama."Nggak kok, Ngga. Aku baru lima menitan disini. Busnya juga belum datang."
Angga melirik jam tangannya, "tentu saja, masih kurang 5 menit lagi. Kamu datangnya kepagian Cil. Lebih baik aku yang nunggu kamu."
Mendengar ucapan Angga, spontan aku tertawa. Lihat, bagaimana mungkin dia yang begitu baik seperti ini tak diperbolehkan Amel untuk dekat denganku? Lantas Amel akan membolehkanku dekat dengan orang yang seperti apa?
Kami menghabiskan waktu dengan penuh canda tawa, membuat hari ini berlalu begitu cepat. Tanpa terasa sore hari menjelang, Angga mengantarkanku hingga depan gerbang perumahan. Sebenarnya ia menawariku untuk diantar sampai depan rumah, tapi aku tak ingin merepotkannya. Bisa repot juga jika Angga bertemu Papa. Haha. Nanti ditanya macam-macam!
Angga yang mengucapkan selamat tinggal, tersenyum manis padaku. Sosoknya yang berbalik, menjauh perlahan diiringi terbenamnya mentari. Dramatis ya? Hihi. Untung saja aku masih bisa menahan diriku untuk tak berteriak padanya dari kejauhan, membalas ucapan selamat tinggalnya. Nanti totalitas dramanya.
Semua berjalan lancar. Perlakuan Angga selalu saja manis. Tak pernah lagi aku menceritakan kedekatanku dengan Angga pada Amel. Kurasa tak perlu. Toh ia juga akan mengatakan jangan, 'kan? Seperti tak pernah suka kalau aku bahagia. jadi cukup kujalani sendiri. Ini kehidupanku. Aku juga takkan mengusik hidupnya. Jadi harusnya impas. Biarlah kami seperti oang asing. Ia yang memulainya, bukan?
+x+
"Jadi, Cil. Aku suka kamu."
...
"Kurasa kamu sudah tahu. Tapi aku hanya ingin mengatakannya."
Setelah 3 bulan, Angga menyatakan perasaannya padaku. Tepat di hari ulang tahunku, setelah aku membuka hadiah darinya. Isinya novel Tere Liye terbaru, yang sudah lama kuinginkan. Lihat, dengan pernyataan cinta di hari spesialku, lengkap dengan hadiah yang kusuka. Bagaimana aku takkan luluh? Memiliki kekasih yang sehobi dan minat denganku akan sangat menyenangkan.
"Angga, aku...,--"
Aku tak bisa berkata apapun. Rasanya seperti kehilangan kontrol atas diriku. Hanya bisa mengangguk perlahan.
Ya, kami menjadi sepasang kekasih hari itu. Semua terasa manis setelahnya. Tak ada yang kurang dari hidupku. Teman bercerita, pemberi solusi terbaik, teman menghabiskan hai, bahkan menggila bersama, Angga merangkap semuanya. Semuanya baik-baik saja. Tanpa keresahan saat Amel melarangku untuk dekat dengan siapapun.
"Cil, aku perhatikan kamu nggak lagi dekat dengan Amel ya."
Sudah kuduga topik ini cepat atau lambat akan dibahas.
"Iya, nih. Peka deh kamunya."
Angga tertawa renyah, khas dia sekali.
"Boleh aku tanya kenapa, sayang?"
Aku menghela napas, "dia lebih posesif dari kamu, loh. Dia ga pernah bolehin aku dekat dengan laki-laki manapun."
Angga menggeser posisi duduknya, sepertinya ia tertarik dengan ucapanku berusan.
"Masa? Kamu nggak tahu alasannya kenapa dia begitu?"
Aku berpikir sejenak, "dia nggak pernah jelasin juga kalo aku tanya. Bingung aku tuh."
Angga tersenyum, "kalau aku bilang tahu alasannya, apa kamu percaya aku?"
Kutatap mata Angga, "katakan padaku. Akan kudengar dulu."
"Dia sayang kamu. Nggak pengen kamu disakiti laki-laki. Tapi dia bingung jelasinnya ke kamu gimana."
Baru ini kudengar sebuah penjelasan yang menyangkut perasaan tapi tetap logis. Aku berusaha mendengarkan penjelasan Angga sampai selesai dan intinya ini semua hanya kesalahpahaman.
"Tapi, dari mana kamu tahu isi pikiran Amel?"
Lagi-lagi Angga tersenyum, "dia tak pernah absen menceritakan padaku."
Huh?
"Semua kisah tentangmu. Cilla-ku yang cantik."
Sepertinya mukaku memerah.
"Jadi kau harus berbaikan dengannya, ya. Akan kubelikan es krim nanti jika kalian berhasil berbaikan. Bagaimana?"
Uh. Kalau begini aku takkan bisa menolaknya.
Dasar Angga curang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Impacto
Short StoryIni adalah kumpulan tulisan yang kutulis kala senggang. Selamat membaca!