Adakah Oksigen di Mars?

25 3 2
                                        

Ini adalah kisahku.

Anak perempuan pertama yang mana seluruh harapan keluarga tertumpu padanya. Aku yang dilihat sempurna oleh semua orang, tak pernah absen untuk mendapatkan ranking teratas di kelas, beasiswa, dan tentu saja menjadi kebanggaan para guru.

Kuakui, aku tak punya banyak teman. Hanya punya satu sahabat. Hubungan persahabatan kamipun akhirnya kandas. Lenyap tak bersisa. Kepercayaan yang hilang, tak ada lagi sedikitpun. Hanya saling sapa, sedikit berkisah tentang kehidupan, dan berkabar. Itu saja. Tak lebih.

Hidupku terasa membosankan. Layaknya piano yang hanya memiliki dua warna pada tutsnya, hanya monokrom. Hitam putih. Hingga dia datang, mewarnai hidupku. Melukisnya dengan warna-warna cinta. Dia, yang hadirnya membuatku menghargai keberadaanku, yang seringkali hanya dianggap alat untuk mencapai tujuan.

Orangtuaku menganggapku sebagai alat untuk memperbaiki keadaan keluarga, guru yang seolah memaksa untuk terus mengejar dan mendapat prestasi. Serta teman-teman munafik yang tak lain hanya menginginkan jawaban tugas dan ujian dariku.

Dari semuanya, hanya dia yang mengerti. Rasanya ditekan, diremukkan, dipaksa untuk bekerja rodi, dan jika akhirnya gagal akan dibuang. Ya dibuang. Layaknya permen karet yang sudah habis manisnya.

Kami pun semakin dekat.
Menjalani kisah kasih berdua, awalnya rahasia, dan biarlah tetap menjadi rahasia inginnya. Namun lambat laun makin banyak yang mengetahui kedekatan kami.

Yah, tak ada masalah dengan itu. Meski ada banyak kontradiksi dari orang-orang terdekat kami berdua. Tetap saja, rasanya tak lengkap jika tak ada dirinya. Kekasihku.

Kami menjalani hari seperti biasa, layaknya sepasang kekasih yang saling mencinta lainnya. Hingga waktu seperti berusaha menguji kami.

Aku mengenalkan dia kepada keluargaku, dan mereka menerimanya dengan baik. Ia pun ingin melakukan hal yang sama, namun keraguan melanda kami berdua.

Keluarganya yang bermartabat, terpandang, dan tinggi harga dirinya. Bukankah seperti rembulan yang takkan tergapai buatku? Aku yang hanya sekadar putri orangtuaku ini, apa dayaku. Oh apa dayaku?

Waktu berlalu, detik demi detik menghilang tanpa terasa. Hari ini ulangan mata pelajaran favoritku, dengan guru favoritku yang sepertinya takkan pernah tergantikan.

Ah, beliau sangat anggun, cantik dan tampak bersahaja. Dengan tatapan hangat dan senyum ramahnya, beliau selalu menyapa halus muridnya. Seringkali beliau merajuk karena muridnya yang tak kunjung paham. Namun jauh di lubuk hatinya, aku tahu, beliau sangat menyayangi kami, para muridnya.

Hari itu kami menyelesaikan ujian seperti biasa dan seminggu setelahnya, Ibu guru terfavorit ini mengumumkan nilainya. Tentu saja nilaiku terbaik di kelas. Yah, dan kelasku terbaik di angkatanku. Setara dengan nilai kekasihku, ia memang amat pintar. Aku sangat suka membanggakannya.

Ibu guru terfavoritku ini kemudian berucap dengan senyum manis yang tak lepas dari wajahnya, "saya hanya bangga pada siswa saya yang mendapat nilai bagus karena kejujuran."

Hal ini membuatku bertanya-tanya, ada apa gerangan? Apakah mood beliau sedang buruk? Atau sedang ada masalah pribadi. Namun hatiku berkata agar aku menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk, yang ternyata benar terjadi.

"Selamat Aldio, nilaimu terbaik di kelas. Sama dengan nilai Denada. Rupanya bimbingan belajar di ABC sangat membantu, ya. Kalian bisa ikut bimbel disana juga untuk mendapatkan nilai seperti Aldio."

Saat itu, sakit rasanya. Seperti dihantam palu yang amat keras. Aku mengerjakan soal ujian sendiri tanpa bantuan apapun dan siapapun. Hanya mengandalkan isi kepala, ingatan, dan bantuan dari Tuhanku yang amat baik. Tak pernah sekalipun aku mendaftar untuk mengikuti bimbingan belajar yang biayanya amat mahal. Aku berusaha menerima keadaan keluargaku yang biasa saja. Aku berusaha untuk tidak membebani mereka dengan mengikuti kegiatan dan apapun itu yang memerlukan biaya tambahan.

Namun guruku yang sangat kuidolakan seakan mengatakan bahwa nilaiku yang baik ini adalah hasil dari mencontek. Saat itu, aku merasa dicurangi.

Beberapa hari kemudian, aku pergi memasuki ruang guru untuk menemui guru matematika yang mengajukan diriku untuk mengikuti sebuah olimpiade. Namun beliau tak ada disana.

Aku berniat kembali ke kelas saat itu juga, tetapi Ibu guru terfavorit memanggilku. Memintaku untuk mendekatinya karena ia ingin memberikan sedikit tips untukku.

"Iya, Bu. Tips seperti apa yang ingin Ibu bagi dengan saya? Sungguh saya ingin tahu."

"Anak pintar, anak cantik, belajar dulu yang pinter, setarakan dulu dirimu dengan orang yang kamu suka, yang kamu cintai
Kumpulkan dulu modal untuk biaya hidup, jangan mimpi terus, omdo dong namanya kalo mimpi terus. Sama aja bohong namanya.

Hidup ini bukan mimpi yang bisa senang terus, bukan nduk.

Jadi, setarakan dulu dirimu dengan dia. Baru kamu bisa mulai bermimpi lagi, ya?"

Sungguh, saat itu hatiku remuk rasanya. Pecah jika bisa.

Apa yang salah dari mencintai? Apa yang salah dari menyayangi? Apa salahku? Apa salah kehadiranku? Hubunganku dengannya?

Aku, saat itu, hanya bisa tersenyum tanpa mengucap satu kata pun. Bahkan ketika Ibu guru terfavorit tersebut bertanya tentang pendapatku. Aku hanya tersenyum, tak ingin menanggapi.
Sudah terlalu sakit. Ibu hanya melihat apa yang ingin Ibu lihat, 'kan?

Tak ada seorangpun anak yang bisa memilih akan jadi anak siapa sesuai keinginannya. Tak ada seorangpun bayi yang bisa memilih akan terlahir dari rahim siapa, menjadi saudara siapa, dan menjadi keturunan siapa.

Tak ada, Bu.

Belum puaskah anda melihat saya tersenyum, dengan mata berkaca-kaca, suara yang tercekat, dan rahang yang mengeras menahan malu dan amarah?

Ah, kurasa cukup.
Aku sudah membulatkan tekadku.

Aku tak ingin membuat siapapun yang menikahiku menyesal nantinya. Aku harus membenahi semuanya.

Jika aku tak bisa membenahi sistem kasta yang memecah manusia menjadi dua golongan ini, satu-satunya cara terbaik bagiku untuk bersamanya adalah dengan menjadi salah satu dari mereka.

Kekasihku, kumohon maafkan aku.

Ada beberapa motif untukku tetap bersamamu. Yang pertama, aku mencintaimu. Amat cinta hingga tak mungkin membayangkan hidup tanpa dirimu bersamaku.

Lalu yang kedua, aku ingin menjalani kehidupanku bersamamu, yang kata mereka berbeda denganku. Dirimu yang terpandang, salah satu dari seorang ahli waris ayahmu yang penuh wibawa. Kau yang begitu baik dan tampan, yang kata mereka terlalu baik untuk disandingkan denganku.

Yang ketiga, kuharap ini yang terakhir. Aku ingin bersamamu, menua denganmu, karena aku ingin membalaskan rasa sakit dalam dada.

Rasa yang hina ini, yang membekas seperti luka bakar. Susah untuk dihilangkan, susah untuk diterima meski nyata adanya.

Aku ingin mereka terdiam di hari pernikahan kita. Aku ingin mereka kehilangan suara saat kau mengucapkan ijab kabul dihadapan semua saksi dan tamu yang hadir.

Aku yang licik dan jahat ini. Mungkin memang tak pantas bersanding denganmu.

Ini keegoisanku.
Aku tak memintamu untuk mengertiku, pun mengulurkan tangan padaku. Aku tahu, hal seperti ini akan sulit sekali untuk kau pahami. Karena kau pun seorang yang berkasta tinggi, yang begitu jauh perbedaannya denganku. Jadi, tolong tersenyumlah dan katakan padaku. Kita masih bisa bersama, kan?

ImpactoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang