Dika benar-benar dijadikan tumbal. Dia hanya bisa pasrah saat setelah menyetujui permintaan Arka, dirinya dipermak sana-sini. Dia juga harus bisa memerankan tokoh Arka yang memang berbeda jauh dengan kepribadiannya. Ya walau, jika dipikir, mereka lebih banyak kesamaan.
Arka itu narsis, sementara dia enggak. Itu yang utama.
Sekarang, Dika harus bisa senarsis Arka. Pasalnya, selama ini dia lebih sering pacaran sama buku, bukan ponsel. Jangankan main Instagram, akun Facebook-nya aja bersarang. Namun, itulah perjuangan. Dia tidak mau jika Arka sampai harus pindah ke Surabaya lagi.
"Lo mau ke mana?" tanya cewek di sampingnya yang sedari tadi fokus mengemudi.
"Terserah lo. Bukannya lo udah nentuin?" Dika bertanya balik. Lidahnya agak aneh saat bilang lo.
"Hm, enggak. Sebelumnya, makasi banget, ya, lo udah mau jalan sama gue." Dalam hati, Arabelle cepat-cepat menarik semua perkataannya. Jijik dia bilang terima kasih sama sejenis Arka yang sombong enggak ketulung.
Dika hanya berdeham. Dia tidak tahu harus merespons apa dan hanya bisa memperbanyak stok sabar. Dia masih kesal sama cewek yang malam ini dinner sama dia.
Dinner? Wah, kita lihat, isi dinner -nya. Sebab, Dika sudah menyusun plot untuk melancarkan pembalasan. Malam ini harus tuntas walau dia bakal tidak puas kalau hanya sekali saja.
"Orofi Cafe." Dika akhirnya memilih. Kebetulan letak kafe itu cukup dekat dari posisi mereka.
Dika sebenarnya tidak terlalu tahu mengenai seluk beluk kota Bandung. Jangankan nama kafe, nama jalan aja yang dia ingat cuma Jalan Cigadung Raya Barat---karena itu rute sekolah-rumah. Atau beberapa toko buku sebagai tempat memenuhi rutinitas bulanannya; kuliner buku. Itu pun hanya sebulan sekali dan memanfaatkan Google Map sebagai pemandu jalan. Dia tadi sempat browsing singkat.
"Arah mana?" tanya Arabelle.
"Lembah Pakar Timur nomor 99," jawab Dika.
Arabelle menghela napas. Empat hari perjuangannya ternyata berbalas dinner di tempat yang hanya sepelemparan batu. What the .... Dia membatin dan menoleh tajam kepada cowok yang asyik sama ponsel di sampingnya.
Hanya berselang sepuluh menit, dan mereka pun tiba di area parkir Orofi Cafe by The Valley. Ini malam Minggu, jadi tempat yang dijuluki Santroni-nya Kota Kembang itu lumayan ramai walau baru menginjak jam lima sore.
Dika turun lebih dulu. Oke, dia berharap tidak ada fans atau sejenis cewek-cewek hobi teriak yang akan menyerbunya. Namun, itu tidak dikabulkan.
"Kak Arka! Astaga! Kakak aku minta foto." Seorang cewek berbaju kurang bahan---begitu Dika menilainya---berlari menghampiri Dika. Tanpa basa-basi, langsung mengacungkan ponsel dan mereka pun berfoto.
Dika belum sempat bergaya, malah bingung harus bergaya seperti apa.
Di dalam mobil, Arabelle mendesis melihat pemandangan di samping kiri mobilnya.
"Dasar cowok narsis!" cibirnya yang kepalang emosi.
Dia segera turun dan menyibak kerumunan cewek yang semakin banyak. Dika terselamatkan.
"Woi, bubar!" sentak Arabelle.
"Eh, apa-apaan lo!" Yang dibentak balik mendorong sambil teriak dua kali lipat lebih kencang.
Dika meneguk ludah. Astaga, barbar semua. Dia lalu berusaha mencari cara sebelum suasana kian keruh.
"Tenang-tenang. Kalian enggak boleh berantem. Oke?" Dika merentangkan tangannya. Bersamaan, kedua belah pihak mundur mencipta jarak. "Gue tahu gue ganteng dan lo semua nge-fans berat sama gue. Jadi, lo jangan bikin kekacauan di depan gue. Oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad or Good Girl (TAMAT)
Teen FictionGawat! Karir seorang Arabelle Kiyoko di ambang kehancuran akibat kalah taruhan dari rival sekaligus saudari tirinya, Amanda Lanika. Arabelle tentu tidak terima. Kebetulan di sekolahnya hadir cowok beken yang akrab disapa Arka. Dia memiliki sebuah r...