Akad

257 59 125
                                    

"Aku tidak Pernah memilihmu."
Tapi Tuhanlah yang memilihkanmu "Untukku."
 

 
■■■


"Ananda Reza Ardian Dewantara bin Amran Dewantara saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Aruna Anandita binti Taufik Hanafi dengan mas Kawin Uang tunai sebesar 32 juta 2 Ratus 50 Ribu Rupiah dan seperangkat Alat sholat di bayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Aruna Anandita  binti Taufik Hanafi Dengan mas kawinnya tersebut " Tunai.

"Sah..."

"Sah..."

Satu tetes air mata meluncur mulus pada pipiku. Aku tak menyangka akan menikah secepat ini. Kemarin aku baru saja menceritakan padanya tentang kebimbanganku. Dan dia pun menceritakan kerisihannya akan sesuatu padaku. Kami sama sekali tak bisa memberi solusi satu sama lain. Kami hanya sama sama berkata
"Mas do'a kan kamu segera dapat solusi akan masalahmu."

"Iya Nuna juga do'a in Mas, supaya cepet ketemu sama pilihan Mas biar gak risih lagi kalau di tanya-tanya sama ibu."

Tak pernah menyangka Bahwa Tuhan mengabulkan do'a kami secara bersamaan.

Kini aku berada tepat di depannya hanya berjarak beberapa senti saja. Aku sempat meliriknya sedikit. Hanya pandangan datar namun dengan senyum tipis di bibirnya yang dapat kulihat. Aku tak tau apa yang ia rasakan. Jangankan dia aku saja bingung harus senang atau sedih.

Lamunanku terhenti setelah merasakan tanganku di pegang oleh seorang laki laki yang beberapa menit lalu sah menjadi 'suamiku.'
Ia memasangkan sebuah cincin yang indah di jari manisku, berganti Aku memasangkan cincin di jari manisnya.

Setelah itu  ibu mengutusku mencium tangannya beberapa saat untuk diabadikan dalam bentuk foto. Setelah beberapa menit kepalaku terangkat dari punggung tangannya dan tak kusangka setelah kepalaku tepat menghadap padanya ia dengan sangat lembut mencium keningku. Mataku yang tadinya terbuka sayu kini tertutup kembali merasakan sengatan rasa yang berbeda. Entah rasa apa ini yang pasti aku belum pernah merasakan sebelumnya.

■■■

Ceklek ...

Aku membuka knop pintu kamarku dan memilih duduk di tepi ranjang lengkap dengan baju kebaya dan riasan. Aku masih tak menyangka dengan apa yang terjadi sungguh...
Bukan aku tak menerimanya, dia laki laki baik dan aku mengenalnya sudah lama tapi apakah harus dia. Aku bahkan bingung saat ini dasar apa yang berlandaskan pada pernikahan kami saat ini, kalau dulu saja kita layaknya seorang Kakak dan Adik.

Flashback.

"Pak, ini yah ongkosnya makasih." 

Aku turun dari angkot di pertigaan depan. Berjalan dengan pelan karena jalanan yang berkerikil tak selaras dengan sepatu hak yang ku kenakan. Sesekali aku berhenti membenarkan sepatuku yang nampak tak sesuai size kaki ku. Biasanya saat pulang kantor jam 8 malam aku meminta ayah menjemput di pertigaan, karena angkot yang ku naiki tak bisa melewati gang sempit rumahku. Tapi karena saat ini masih pukul 5 sore, aku memilih tak menelpon ayah dan memilih untuk berjalan kaki. lagi pula jaraknya tak terlalu jauh.

Saat aku tengah sibuk menunduk membenarkan sepatu yang ku kenakan, tiba tiba seseorang bertanya padaku.

"Mbak maaf, mbak tau nggak rumah bapak Amran Dewantara beliau orang sini. Tinggalnya di salah satu gang dekat sini."

Ex Brother As HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang