"Menerima Apa yang sudah diberi" mungkin terbilang mudah.
Tapi ikhlas menjalani apa yg tidak dikehendaki mungkin tak terbilang "kapan masanya"
-
"Ih...., susah banget sih," aku susah
payah meraih resleting bajuku bagian belakang. Tanganku sulit sekali menjangkaunya dan benda itupun agak sedikit macet sepertinya. Padahal hari ini aku harus sudah siap. pukul 6 nanti Aku dan Mas Reza untuk berangkat ke Bandara Juanda Surabaya menuju ke Bandung. Tidak terasa pernikahan kami telah berjalan seminggu. Dan hari ini aku ikut Reza kembali ke tempat bekerjanya , karena masa cutinya sudah habis. Dan aku pun harus mulai bekerja juga, "Apa ganti yang lain aja, ya?""Dek, kamu siap-siapnya udah selesai apa belum—Ah, maaf!"
Aku terperanjat, reflek menoleh saat tiba-tiba mas Reza keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya dengan handuk. Mas Reza yang mulanya akan berjalan ke nakas di sebelahku langsung putar balik ke arah lain.
"I-iya Mas, nggak papa," wajahku memanas, malu. Badanku menegang, bingung harus apa. Mau meneruskan menutup resleting punggung, namun sulit. Berganti baju yang lain pun, sudah ada Mas Reza. Ya ampun, dia cepat sekali sih mandinya.
Aku memutuskan cepat-cepat berusaha menarik resleting bajuku lagi. Astaga, siapa yang membeli baju ini?!
"Kenapa? Kamu ... butuh bantuan?" Lelaki itu bertanya, setengah ragu. Tangannya tampak sibuk mengancingkan lengan kemejanya.
"Em—nganu, bajuku agak—ini ..." Ucapku terbata bata. Kami memang sudah menikah, tapi untuk melakukan hal yang sepatutnya wajar untuk sepasang suami istri. Kami benar benar merasa canggung. Meski sudah mengenalnya lama, Mas Reza masih seperti lelaki asing, yang tiba-tiba ikut tidur di kamarku. Kami masih canggung satu sama lain.
"Kenapa? Sobek? Rusak?"
"Enggak! Ini ... agak susah—A-aku ganti sama yang lain aja—"
"Mau coba ku bantu?" tawar cepat tampak berusaha agar pertanyaannya tak terdengar aneh.
"Hah?"
"Maksudku!—hmm, 20 menit lagi kita sudah harus berangkat," Lelaki beralis tebal itu, mengusap tengkuknya. Lantas tersenyum menenangkan, " Tapi kita belum memastikan barang dikoper tidak ada yang ketinggalan. Jadi biar cepet ..." Mas Reza berjalan ke arahku. "Biar kubantu? Ucap mas reza. Tangannya akan mejulur ke arah punggungku. Menarik Resleting ke atas.
"I ...ya, Mas. Maaf aku lama," aku tersenyum kikuk, dan membalikan tubuhku agar Mas Reza dengan mudah membantuku. Aku masih kikuk dibuatnya. Mungkin bagi semua orang hal itu sudah biasa dilakukan oleh suami istri. Tapi aku dan mas Reza?
"Santai, nggak papa kok."
"Awh, Mas!" ada beberapa helai rambut panjangku yang rasanya tertarik.
"Eh, Maaf! I-ini gimana? Rambut kamu ada yang nyangkut."
"Turunin lagi, Mas. Pelan-pelan tapi ..."
"Iya, maaf maaf ... udah nih. Rambut kamu, aku taruh depan aja ya, biar nggak nyangkut lagi."
Aku memejamkan mata kala jemari Mas Reza menyusuri leherku, jantungku berdebar cepat. Pertama kali aku berinteraksi sedekat ini dengan laki-laki.
"Nih, udah."
"Makasih, Mas."
°○○○°
Aku memandang keluar jendela pesawat dengan perasaan tegang, saat pemberitahuan pesawat akan segera take off terdengar. Rasanya gugup, sebab di 25 tahun hidupku, ini kali pertamanya aku bepergian dengan pesawat. Apa ini hal yang memalukan? Entahlah, aku tidak tau.
"Nuna?"
"Eh, iya Mas?" aku langsung menoleh ke samping, begitu mendengar suara suamiku.
"Kamu takut, ya?" tanyanya, sambil memandang ke lengan kemeja hitamnya yang ternyata tanpa sadar ku pegang erat-erat. Reflek aku melepasnya, tak enak hati.
"Hehe, agak sedikit ... deg-degan."
"Udah, tenang aja. Nggak bakal kerasa, kok," Aku kaget saat tiba-tiba Mas Reza menyelipkan jemarinya di ruang kosong di antara jari-jariku. Lantas tampak fokus dengan buku kecil ditangannya, yang aku sendiri tidak mengerti itu apa,"Ada Allah, kita nggak akan kenapa kecuali kehendaknya. Dipake zikir aja, biar hati kamu tenang." Ucapnya menenangkanku
"I-iya Mas," tangan Mas Reza hangat sekali.
Aku mengarahkan kembali pandanganku ke arah jendela. Melihat perlahan-lahan pesawat yang kunaiki terbang menuju ke atas awan. Genggaman tangan ku mulai mengerat kembali setelah tadinya sempat tenang oleh perkataan Mas Reza.
Merasakan gestur tubuhku yang kurang nyaman, Mas Reza lantas menutup buku, masukannya ke dalam tas kecil yang berada di pangkuannya.
"Kamu kenapa lagi?" ucapnya sambil menoleh ke arahku. Aku hanya memperlihatkan mimik muka gusar dan terlihat menahan ketakutan.
"Kamu masih takut?" ujarnya lagi. Aku hanya sanggup menganggukkan kepala, tanpa berucap satu kata pun.
"Ya sudah, kalo gitu kamu tidur aja. Biar ngilangin rasa takutmu. Setidaknya saat kamu bangun sudah akan sampai," perlahan kututup mataku memposisikan kepala pada sandaran yang menurutku terasa nyaman. Aku mulai menemukan titik lelahku, sedikit demi sedikit terbawa ke alam mimpi. Namun, sebelum aku benar-benar terlelap kurasakan elusan lembut di rambutku yang tak lain adalah tangan milik Mas Reza.
♡♡♡
"Kamu masih ngantuk?" ujar Mas Reza. Ucapnya sambil menaikkan koper ke atas troli dan mendorongnya ke arah luar bandara. Dengan Mata yang sayu Aku pun hanya mengangguk, masih berusaha mengumpulkan nyawa sambil mengucek mata mengikuti langkahnya. Mas Reza terkekeh kecil, tangannya terjulur mengacak pelan puncak kepalaku, "Nanti dilanjut tidur aja di taksi."
"Nggak ah, nanggung. Mas bilang perjalanan dari bandara ke apartemen cuma 20 menit."
Sampai di depan bandara kami langsung menghentikan taksi. Supir taksinya memasukan koper miliku dan Mas Reza. Aku dan Mas Reza segera masuk ke dalam taksi karena terlampau lelah.
Perjalanan ditempuh dengan lancar. Karena jalanan tidak terlalu macet siang ini.
Sesuai perkataan Mas Reza perjalan ke apartemen kurang lebih memakan waktu 20 menit. Sesampainya di depan lobby apartemen aku membantu membawa koperku menuju unit apartemen milik Mas Reza.
Pertama kali pintu apartemen Mas Reza terbuka, bau asing menyeruap dalam indra penciumanku. Kamar yang terlihat sangat rapi dengan desain minimalis berdinding coklat muda seperti membawaku ke tempat yang aku sendiri tak tau dimana.
Ini benar-benar asing bagiku!
Aku masih terpana melihat sekeliling kamar ini, tertinggal langkah Mas Reza yang sudah masuk ke dalam. Sampai lamunanku terpecah saat ajakan Mas Reza terdengar di telingaku, "Ayo masuk! Ngapain berdiri disitu?"
Aku pun seketika tersadar, "Ah! I-iya," jawabanku dengan gelapan dan segera berjalan masuk mengikuti Mas Reza. Masih dengan kepalaku yang melihat sekeliling ruangan. Melihat setiap inci sudut ruangan ini.
"Dek, nanti malam seperti biasa, ya?"
■■■
Hai Guys, Kita update part baru lagi nih. Siapa yg udah nungguin dari kemaren?
Oh ya...
Jangan Cuma jadi pembaca gelap yah. 😁
Habis baca harus VOTE, COMMENT, Bahkan kalau bisa Di share.
Thanks for your support guys. Tungguin kejutan di setiap Part Reza dan Aruna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ex Brother As Husband
RomanceDalam Hal ini aku tidak akan menceritakan bagaimana sakitnya perpisahan. Justru sebaliknya, Aku akan menceritakan Bagaimana Tuhan memberikan kebahagiaan meski terkadang tak sesuai dengan Keinginan. Tidak ada satu hal pun yang luput dari pantauan hat...