"Ni... Uni... bangun. Kita sudah sampai di Jakarta." Sayup-sayup Seruni mendengar seseorang memanggil-manggil namanya. Seruni memaksa membuka matanya yang masih terasa lengket karena mengantuk. Mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Mencoba menyesuaikan pandangan karena silau akan cahaya lampu mobil. Saat pandangannya sudah fokus, barulah Seruni memperhatikan dengan seksama di mana sekarang ia berada. Mobil yang ia dan Mayang tumpangi berhenti di depan sebuah kompleks perumahan kecil. Rumah-rumah mungil bermodel dan bercat sama berjejer rapi. Ada sekitar dua puluhan rumah di sana.
"Ini mess karyawan tempat Mbak bekerja, Uni. Ayo kita masuk," ajak Mayang ramah. Seruni mengangguk. Karena tidak membawa apa-apa, ia hanya lenggang kangkung saat keluar dari mobil. Sementara supir mengeluarkan satu tas travelling yang cukup besar milik Mayang.
"Atasan Mbak Mayang pasti baik sekali ya, Mbak?" guman Seruni sambil berjalan. Tak henti-hentinya ia mengagumi mess karyawati yang asri ini.
"Kenapa kamu bilang begitu, Uni?" Mayang melirik Seruni yang terus memandangi mess dengan pandangan kagum.
"Bukannya Uni bermaksud menghina ya, Mbak? Tapi untuk ukuran mess bagi para pelayan, mess ini rasanya terlalu mewah. Lah mess untuk para pimpinan di pabrik PT Tebu Manis Plantations saja tidak semewah ini?" pungkas Seruni lagi.
Mayang tersenyum masygul. Seorang pendatang dari kampung seperti Seruni ini saja bisa merasakan kejanggalan dalam fasilitas kerjanya. Tapi mau bagaimana lagi. Hidup di ibukota memang sekeras-kerasnya kehidupan. Tidak nekad artinya tidak makan.
Melihat Mayang hanya tersenyum tipis dan tidak menjawab pertanyaannya, Seruni pun tidak membahasnya lagi. Sepertinya ia sudah terlalu lancang menyuarakan pendapatnya padahal tidak diminta. Kini ia mengekori langkah Mayang tanpa banyak bertanya lagi. Langkah Mayang berhenti di depan pintu satu rumah mungil bertuliskan angka 4B. Saat pintu dibuka, lima kepala sontak berpaling ke arahnya dan Mayang. Sepertinya mereka semua adalah rekan-rekan kerja Mayang. Karena mereka semua menggunakan pakaian seragam. Hanya saja Seruni sedikit heran melihat seragam pelayan yang mereka kenakan. Setaunya pelayan itu berseragam putih dengan rompi dan rok span. Rambut juga digelung rapi, agar tidak ada helaian rambut yang jatuh saat menyajikan makanan.
Namun rekan-rekan Mbak Mayang ini malah mengenakan tank top putih super ketat dengan tulisan Astronomix Girls di bagian dada. Bawahannya adalah celana super pendek berwarna orange, serta apron pinggang hitam mungil yang menutup bawah perut mereka. Seruni terkesima. Apa memang seperti ini seragam pelayan-pelayan di Jakarta? Ia sudah pasti tidak berani mengenakannya.
"Masuk, Uni. Ini mess Mbak bersama dengan rekan-rekan kerja Mbak yang lain," ujar Mayang. Seruni tersenyum sopan seraya menghampiri rekan-rekan Mbak Mayang yang sepertinya sedang bersiap-siap bekerja. Tas-tas mungil sudah menggantung di bahu mereka masing-masing.
"Selamat malam, Mbak-Mbak semua. Nama saya Seruni. Panggil saja saya Uni. Saya teman sekampung Mbak Mayang." Seruni memperkenalkan diri dengan sopan. Ia kemudian duduk di sisi kiri sofa dan Mbak Mayang menyusul duduk di sampingnya.
"Teman sekampungnya Mayang toh? Pantes. Kenalin gue Vina. Itu Nella, Fika, Riri dan Eva." Vina memperkenalkan diri seraya menunjuk ke empat temannya sekaligus.
"By the way, lo nggak usah manggil kami-kami ini dengan sebutan Mbak keleus. Umur kita kayaknya juga sebaya," imbuh Vina.
"Apalagi gue," sela Fika. "Gue baru delapan belas tahun, Uni. Baru tamat SMU. Gue juga baru sebulan jadi waitrees di Astronomix," lanjut Fika lagi.
"Maaf, saya hanya berusaha bertutur sopan," sahut Seruni. Saat mendengar bahasa lo gue, Seruni seperti merasa ada di belahan dunia lain. Karena di kampungnya tidak ada yang berbicara seperti itu. Ia telah benar-benar jauh dari kampung rupanya. Ia ternyata seudik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRAVEHEART (Tamat)
RomanceUntuk pemesanan pdf hubungi admin. 082165503008 Admin Nana Seruni Arkadewi merasa dunianya runtuh satu persatu, saat sebuah kecelakaan merenggut kesempurnaan indrawinya. Kedua kakinya yang sebelumnya kuat dan lincah, kini menjadi timpang. Dan terny...