Prolog

16 2 18
                                    

Namanya Alan. Alansyah Prasetyo. Sehari-hari paling suka memakai kemeja yang lengannya di gulung sampai siku.

Kalau di sekolah ia tampak sederhana memakai seragam rapinya bersama ransel berwarna abu-abu.

Badannya tegap kurus dan tinggi. Membuat siapapun yang berada disampingnya terlihat begitu kerdil.

Biar begitu, ia merupakan murid yang cerdas karena mengikuti akselerasi.

Seharusnya ia masih kelas sebelas. Tapi karena otaknya yang kelewat encer itu, kini ia berada di kelas dua belas ipa dua, bersama rivalnya Melody Ardiwisastra.

Kehidupannya yang begitu keras membawanya menjadi sosok yang mandiri. Ia juga lebih banyak bertemankan sunyi dan sepi.

Semenjak hidup sebatang kara, ia berjuang sendirian untuk memenuhi segala kebutuhannya.

Miris memang, disaat murid lain hidup ditemani keluarganya, Alan hanya bisa menghabiskan waktunya dengan bekerja dan bekerja demi membiayai pendidikannya sendiri.

Saat ini Alan merasa seperti buih di lautan, terombang-ambing, hanya mengikuti kemana gelombang itu akan membawanya.

Hal itu menjadikannya sosok yang kelewat mandiri, sifatnya juga begitu dingin mungkin nyaris beku, cuek dan berhati batu.

Tak seperti laki-laki lain seusianya yang mulai cenderung mengenal cinta.

Ia tak tertarik untuk sekedar suka atau mengagumi gadis seumurannya.

Baginya, pacaran hanya membuang-buang waktu.

Terkadang ia merasa terlalu banyak memiliki perbedaan dengan orang-orang di sekelilingnya.

Namun tak pelak, sikapnya yang datar dan dingin, ucapnya yang singkat-singkat justru hal tersebut mampu membuat gadis-gadis disekolah menggilainya karena ia begitu unik.

Tapi tidak untuk Melody. Sebut dia Molly, gadis cantik yang menjadi saingan Alan dalam mendapatkan prestasi.

Bagi Alan, Molly hanya gadis penghalang yang mengambil haknya.

"Lo udah kaya. Beasiswa itu gak pantes buat lo." Kata Alan dingin.

"Heh manusia es! Gak ada aturannya orang kaya, gak boleh dapet beasiswa!"

"Apa? Manusia es? Cih, dasar Nyi roro kidul."

"Loh kenapa kesinggung? Emang bener kan manusia dingin gak berperasaan kayak lo cocok dibilang manusia es?"

"Terserah." Katanya sambil meninggalkan gadis itu.

"Mau kemana lo? Urusan kita belom selesai! Siapa yang lo maksud nyi roro kidul hah?" katanya emosi.

Alan menghentikan langkahnya, ia menatap gadis itu sebentar lalu menjawab pertanyaan yang menurutnya kurang penting.

"Bagi gue, lo itu kayak nyi roro kidul disekolah ini. Penguasa laut selatan. Sok berkuasa. Cih. Puas?"

Molly begitu sakit hati. Sejak kapan ia berkuasa di sekolah ini.

Apa karena prestasinya ia menjadi iri?

Asal kalian tahu, beasiswa bagi Molly merupakan sebuah batu loncatan untuk menggapai cita-citanya.

Ia ingin menjadi seorang dokter. Sangat ingin.

Bukan salahnya kalau memang satu sekolah selalu membanggakan Molly dan Alan.

Bedanya Molly ini aktif di organisasi PMR, dan mempunyai banyak teman bahkan bodyguard yang menjadi teman satu geng nya.

THALASSOPHILE (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang