Mataku masih saja sulit terpejam malam ini. Sekian tahun sejak aku meninggalkanmu dan kutukan ini masih tetap nyaman mengikutiku. Kau mengutukku dengan malam, membuatku hanya kuasa hidup di bawah terpaan sinar bulan. Bukan, bukan aku yang membiarkannya tinggal, berbagai cara telah kukerahkan untuk menghapus kutukan mengerikan ini. Namun percuma, ia terlalu keras kepala.
Aku adalah makhluk nokturnal yang tak mampu menikmati hangatnya mentari. Saat mereka memuja senja dengan secangkir kopi, sajak, dan tawa, Aku hanya dapat menyelam di gulita malam. Menyendiri dipangkuan sepi, ditimang dalam buaian sunyi.
Aku hidup saat mereka terlelap, kemudian terpejam disaat mereka terjaga. Aku jenuh dengan gemintang, jenuh dengan rintihan jangkrik, jenuh dengan lirih burung hantu, aku jenuh hitam. Malam bagiku adalah penjahit. Ia menjahit rasa sakit akan kehilangan dengan air mata yang membelit.
Aku lupa bagaimana semilir angin di tengah savana hijau, lupa bagaimana putihnya awan berkejar-kejaran di ladang biru, lupa bagaimana kabar pelangi, dan lupa bagaimana silau mentari menerobos ke sela-sela dedaunan mencari cara untuk menerpa wajahmu.
Berulang kali kumencari cara untuk menghilangkan kutukan ini. Menyusuri setiap sungai dan telaga, menjajaki tiap hamparan dan daratan. Nihil, sia-sia yang kudapat. Mendatangi tiap tabib dan penyihir, menjajal tiap jimat dan pusaka. Percuma, ia tetap tinggal.
Kau bilang hanya ia yang ditakdirkan untukku yang mampu mengangkat kutukan ini. Namun, kau jua yang berkata bahwa aku hanya ditakdirkan untukmu. Sebenci itukah kau kepadaku hingga menyengsarakanku di tengah ketidakpastian ini?
Malamku hanya gelap, tanpa lentera dan cahaya, karena kamu telah pergi membawa mereka semua. Kau renggut mentari dan warna, mengutuk aku di tengah gulita. Lengkap sudah kurasakan derita. Semoga cepat kutemukan ia yang ditakdirkan menjadi pelipur lara. Berharap kutukan ini sirna.