2. Roll Ups (part one)

932 153 2
                                    

"Aku tak tahu kalau kau juga diselingkuhi." Aku memecah keheningan setelah kami saling diam di mobil. Kurasa Singto masih syok dan harus kembali menyusun emosinya yang sempat meledak-ledak.

Jadi setelah kabur dari suara mobil yang entah milik siapa, kami berhenti di dekat pom bensin. Menatapnya termenung seperti orang yang habis hilang ingatan.

Ia mengangkat bahu. "Itu bukan perselingkuhan. Andrea hanya bosan lalu pergi main-main dengan Joss sialan itu."

"Tapi waktu itu kau masih punya hubungan dengannya 'kan?"

"Well, secara teknis—"

"Ha, tepat seperti apa yang kutebak!" teriakku yang membuatnya mendadak gelagapan, "Tidak mungkin cowok sepertimu hanya ditinggal begitu saja. Pasti ada masalah."

Tidak ada sanggahan dari Singto, tanda kalau ia menerima semua ucapanku. Bagus. Aku menghela nafas dan kembali merebahkan punggungku ke jok mobil. Sedangkan Singto masih begitu larut dalam lamunannya sambil mengelus stir mobilnya sesekali. Ternyata rasanya aneh juga melihat dia begitu diam begini.

"Telur, tisu gulung, cat semprot, kembang api, Veet," gumamnya sambil menghitung dengan jemarinya.

"Hey, hey, hey." Aku merasa ada yang salah dari tiap ucapannya. "Kau tadi bilang kembang api. Dan apa? Veet? Kau mau apakan Andrea?"

Singto menatapku lalu tersenyum. "Aku bilang kalau aku masih punya empat list lagi."

"Tapi aku pikir ini sudah keterlaluan! Kau mengubah dirimu sendiri jadi psikopat yang tak tahu malu," protesku.

"Apa membungkus mobil seseorang dengan tisu termasuk tindakan psikopat yang tak tahu malu?" Singto balik bertanya. "Bahkan jika kau bandingkan dengan senior prank kita kemarin, ini masih belum ada apa-apanya!"

Maksudnya memasukkan foto rumah kepala sekolah ke list agen penjualan properti? Itu prank paling sinting! Belum lagi mereka memasang harga paling murah. Ingat betul wajah kepala sekolah yang kebingungan mendapati halaman rumahnya dipenuhi banyak orang saat acara kelulusan. Kepala sekolah tak begitu terkesan, tapi menurut kami—anak-anak bodoh—itu sangat keren.

Aku memangku daguku. "Well..."

"Kau ikut?" tanya Singto, kembali dengan nada bicaranya yang menyebalkan.

Sebenarnya idenya tidak buruk juga. Itu hanya tisu gulung yang melapisi mobil seperti mumi. Tidak begitu ketat dan bisa dengan mudah dilepas. Intinya, tidak menyiksa ataupun menyusahkan.

Malah kupikir kejadian telur dan coke barusan terkesan jauh lebih parah. Aku turut kasihan pada siapapun yang mencuci mobilnya.

"Kurasa Ibu punya banyak tisu gulung," bisikku teringat ibu sempat memborongnya kemarin, "antarkan saja aku ke rumah. Biar aku yang menyelinap dan mengambilnya."

Singto menjentikan jari. "Keren!"

"Sekali lagi kau bilang 'keren' setiap aku setuju akan sesuatu—"

"Apa?" Ia mengangkat alis. "Kau mau menciumku?"

"Halo, aku punya standar!" balasku jengkel sambil memberikan ponsel, "Masukan sendiri nomormu! Biar aku bisa menghubungimu nanti."

Entahlah, semenjak kejadian di kasir Singto jadi agak berbeda. Dia menjadi sedikit lebih... genit? Atau bisa jadi memang begitu cara ia berbicara. Pantas saja Andrea sempat terpancing—meski akhirnya dihempaskan juga. Mulutnya begitu manis.

"Aku punya ide!" Singto mengembalikan ponselku. "Jadi setelah kita tutup mobilnya dengan gulungan tisu, kita bisa tempel sesuatu yang begitu 'menyebalkan'."

Bucketlist - [ Singto x Krist ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang