Dan akhirnya aku ikut.
Bukan semata-mata karna aku tak mau membayar sewa apartemennya. Lebih dari itu. Aku sudah hidup delapan belas tahun di kehidupan paling membosankan. Lalu masuk kuliah, menemukan pengalaman berbeda, bebas berlaku semaunya. Dan kata 'kebebasan' sudah seperti narkotik. Kau tak akan pernah cukup dan terus mendambakannya.
Kalau bisa lebih bebas kenapa tidak?
Kurasa ajakan Singto tidak begitu buruk. Jika memang akhirnya kami berlari dari kejaran pistol koboi atau bahkan piring terbang, kurasa itu masih pantas dilalui. Karena pada dasarnya kebebasan memang terdengar seru, melegakan, dan mungkin... gratis? Tapi sayang, perjalanannya mungkin tidak sama sekali. Tapi ini akan sepadan. Aku yakin.
Baiklah, darimana aku bisa berakhir ikut dan punya pikiran begini?
Pertanyaan Singto, tentu saja. Dia lebih dalam dari yang kau pikirkan. Semakin aku membacanya ulang dalam hati, aku makin merasa terkurung. Entah soal Andrea, keluarga yang berantakan, dan jiwa yang tak tentram. Tak ada satupun dari diriku yang 'benar'. Sialnya, aku tak mana yang harus dibetulkan. Hanya ingin pergi jauh dan berharap menemukan jawaban di tengah perjalanan. Itu saja.
"Jadi kau Singto dan..." Ansel, keponakan Tuan Dave, menatapku dengan tatapan paling tak nyaman. Percayalah, ini lebih parah dari situasi acara keluarga manapun.
"Krist."
"Kalian betulan mau ke East Coast?" tanya Ansel lagi.
Kami mengangguk. "Ya, dan Tuan Dave bilang kau bisa mengantarkan kami ke sana."
Laki-laki berbebadan kekar itu mengangguk. Sebenarnya aku tak yakin juga ia bisa membawa kami sampai tujuan. Apalagi melihat ada beberapa botol bir di dalam truknya. Selalu ada banyak skenario buruk saat menatap wajah kemerahannya itu.
"Baiklah. Asal temanmu itu tidak menggodaku," lanjutnya, "bukannya apa-apa. Aku hanya tak mau dia menyukaiku. Jesus menciptakan Adam dan Hawa bukan?"
Harusnya aku memang sudah curiga saat melihat stiker Trump di kaca mobilnya. Kupikir itu hanya tindakan ironi semata.
Aku melipat tangan. "Aku. Bukan. Gay."
"Terserah apa katamu, tapi yang pasti aku bisa melihatnya," balas Ansel santai sambil menggulung lengan bajunya, memamerkan bulu ketiaknya yang mungkin tak pernah dicukur seumur hidupnya. "Jadi kau mau naik apa tidak?"
"Ayolah, Krist. Hanya sebentar," bisik Singto seperti para ibu yang mengantarkan anaknya untuk vaskin. Mengiming-imingi permen dan balon sesaat keluar dari ruang dokter.
"Baiklah," balasku sebal, "dan sekali lagi, aku bukan gay. Entah Jesus atau malaikat mana yang membisikimu. Tapi bisa jadi kau yang belum membersihkan kupingmu," lanjutku lalu berjalan ke bak belakang mobil dan melempar tas ranselku masuk.
Keduanya tak lagi memerdulikan apa kataku. Aku dan Singto naik ke bak mobil tanpa atap. Merebah menggunakan ransel sebagai bantalan kepala. Langit sangat cerah pagi ini. Birunya sangat kontras dengan awan putih yang menggumpal.
Aku masih menatapnya lewat kacamata hitam; menerka bentuk apa saja yang dilukis. Membuatku serasa lenyap dalam memori masa kecil. Merebah di halaman belakang bersama dengan gundukan dedaunan yang rontok. Angin berhembus seraya ada cekikikan yang tak bisa lepas menempel bersamanya. Sudah seperti kado ulang tahun dan pitanya.
Rumah pohon, sebelas tahun yang lalu.
Jauh sebelum Andrea.
Aku masih ingat wajahnya, si pemilik tawa yang begitu khas. Melengking namun sama sekali tak pernah menganggu telingaku. Terkadang ia tidak bisa menahan geli hingga ekspresinya lepas tak terbatas. Di baliknya, ada geli yang aku tahu bukan hanya karna celana Pak Jacob yang melorot hingga belahan pantatnya terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucketlist - [ Singto x Krist ]
FanfictionSeharusnya aku tak semudah itu percaya pada Singto Prachaya. Mengingat jelas-jelas dia yang berselingkuh dengan pacarku. Akal sehatnya juga sudah hilang separuh. Jika kami bisa dipertemukan, tentu aku akan meninju wajahnya keras-keras. Tapi kami kin...