Kabur.
Aku tahu betul apa yang terjadi semalam. Cuman aku saja yang enggan untuk mengakuinya sebagai bagian dari memoriku. Dan mungkin bukan cuman aku, Singto juga pasti tak luput dari rasa jijik akan semua perlakuan kami. Tapi semua terjadi begitu saja. Mengikuti kata hati memang sebuah kesalahan besar.
Kami bangun pagi buta dan menemukan kami menggenggam tangan satu sama lain. Pertama, itu sangat homo. Lalu yang kedua, aku bukan homo. Tapi mengingat akan hal yang terjadi sebelum tangan kami bertaut, aku yakin Ansel pasti langsung meledak mendengarnya.
Sampai detik ini, pukul delapan pagi, kami belum juga berbicara. Entah karena memang ada kecanggungan yang luar biasa atau memang ini kebiasaan baru Singto yang mendadak linglung saat pagi.
"Apapun yang ada di pikiranmu, tolong jangan bahas yang semalam." Aku membuka perbincangan.
Singto mengangkat bahu.
Apa maksudnya? Tapi aku tak mau ambil pusing. Kami mengemas ransel dan menunggu di tepi jalan, berharap ada yang tak segan untuk mengangkut dua pemuda bangkrut ini ke mobil mereka. Perjalanan diprediksi masih panjang, mungkin sekitar tiga atau empat jam lagi.
"Perutmu sudah membaik?" tanya Singto.
Aku mengangguk. "Lumayan. Cuman sedikit agak lelah."
Dan bodohnya pernyataan tadi bisa membawa percakapan kami ke ranah yang tak kuinginkan. Beruntung Singto tak menjawab. Semua jadi benar-benar canggung sekarang. Ciuman semalam benar-benar bodoh karena tak ada alasan khusus seperti kabur dari jeratan orang tua atau permainan truth or dare. Belum lagi jika membahas...
Tidak. Aku tidak akan membiarkan kepalaku menuju ke arah sana.
"Hey, lihat ada yang lewat!" seru Singto seraya melambai-lambaikan tangannya.
"Jangan berharap banyak dengan tingkahmu yang seperti bocah begi—"
Dan ternyata mobil van itu berakhir berhenti di hadapan kami. Kaca depannya dibuka, ada wanita berumur sekitar empat puluh di balik sana. Tampilannya nyentrik seperti ia masih terjebak di era delapan puluhan. Mungkin dia punya mesin waktu? Aku tidak tahu.
"Kalian jadi naik atau tidak?" Wanita itu berteriak. Membuat kami buru-buru bangkit dan membawa tubuh kami masuk ke dalam mobil ala Scooby Doo itu.
Jika kita memang diculik, apa boleh buat? Setidaknya suasana di dalam van ini tak begitu buruk. Banyak gantungan khas kaum hippies, tempat tidur, alat mandi, mungkin ia memang menjadikan mobil sebagai tempat tinggal. Anehnya, ini tak sebau yang kubayangkan ketika seseorang menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam mobil.
"Namaku Sierra, ngomong-ngomong." Sierra berusaha ramah sambil menunjukkan senyum terbaiknya yang ternyata tidak buruk juga. "Aku punya kopi di situ. Cuman jika kau cari susu sapi, bukan di sini tempatnya."
Singto tertawa. "Keren. Karena aku juga lactose intolerant, mungkin hampir separuh vegan."
Tidak. Dia sama sekali tidak. Aku melihatnya makan sebungkus keju mozarella beberapa hari lalu. Dan jangan lupa susu coklat yang ia minum setiap ada kesempatan untuk mencurinya dari Dollar Tree. Cuman begitulah cara Singto bersikap ramah. Paling tidak itu yang aku dapat setelah berbulan-bulan satu rumah dengannya.
"Jadi vegan memang keren. Aku bisa lihat wajahmu begitu mulus—siapa namamu?"
"Singto. Singto Prachaya," jawabnya semangat.
"Nama yang keren, aku harap aku punya nama seunik itu."
Singto mengangguk. "Dan itu artinya 'singa' dalam Bahasa Thailand. Bukankah itu keren? Ibuku sengaja memilih nama itu untukku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucketlist - [ Singto x Krist ]
FanfictionSeharusnya aku tak semudah itu percaya pada Singto Prachaya. Mengingat jelas-jelas dia yang berselingkuh dengan pacarku. Akal sehatnya juga sudah hilang separuh. Jika kami bisa dipertemukan, tentu aku akan meninju wajahnya keras-keras. Tapi kami kin...