Aku kembali. Setelah dua tahun menghilang demi mempelajari sesuatu yang bahkan masih belum bisa kupahami hingga detik ini. Intinya, setiap perjalan pasti tak selamanya mulus. Berawal dari aku yang lulus dari SMA, pergi ke luar kota demi masuk ke universitas pilihan Ibu, lalu dropout karena tak tahan.
Tapi tak apa. Kurasa begitulah proses hidup, penuh jatuh dan bangun. Meski 'jatuh'-ku kali ini begitu merepotkan banyak orang. Bisa dilihat dari yang Ibu masih sering berteriak tak terima. Wajar saja. Orang tuaku sudah menjual mobil mereka hanya untuk melihatku dropout. Aku mengerti. Jikapun aku jadi mereka mungkin aku sudah, entahlah, membunuh anakku sendiri? Lalu kuhidangkan dia saat makan malam?
Setidaknya mereka masih berlaku sabar.
Baiklah. Paling tidak kali ini aku harus terlihat bersalah. Mungkin dengan bekerja paruh waktu di restoran dekat rumah atau membantu mengurus nenekku yang sekarat. Tapi semua pekerjaan itu terdengar membosankan. Tiap hal di kota ini begitu membosankan.
Kecuali satu orang, Andrea.
Tentu karena dia adalah pemilik kota ini. Well, dia memang tidak sungguh-sungguh memilikinya. Namun Andrea muncul bagai primadona dari segala hal yang paling mengasyikkan di sini. Tuhan benar-benar menciptakannya jadi begitu menarik. Tak ada satupun detail yang terlewat. Bahkan ia masih terlihat begitu cantik saat mengumpat dan berakhir putus denganku.
Kami bertengkar karena hal kecil. Aku akan pergi jauh dan Andrea yang tak mau tagihan ponselnya membengkak demi tetap berhubungan denganku. Alasan paling bodoh memang. Tapi begitulah anak SMA, bukan?
Awalnya kupikir Andrea memang begitu sensitif soal tagihan ponsel. Ketika aku berjanji untuk membantu sebagian biayanya, ia menolak. Dia bilang kalau ia enggan merepotkanku. Kami berdua frustasi jadi kuputuskan untuk mengakhirinya saja.
Kemudian selang beberapa bulan; setelah aku menelaah isi Instagramnya. Aku baru sadar kalau ini bukan sekadar soal tagihan ponsel.
Dia hanya sangat menyukai laki-laki ini. Singto Prachaya, laki-laki Asia yang kukenal dari kelas matematika. Kurasa mereka berdua bertemu di klub buku tahunan. Singto suka fotografi dan Andrea jadi bagian desain. Sangat cocok. Tapi aku belum bisa memastikan kalau cowok sialan ini betulan berusaha merebut Andrea dariku atau tidak.
"Krist," panggil Ayah sambil masih sibuk menelaah isi korannya. Kurasa cuman dia yang baca koran malam-malam begini.
Aku menoleh. "Ya?"
"Kalau boleh jujur, aku pernah sesekali berpikir kalau kau itu—aku tak tahu bagaimana cara mengatakannya—entahlah, sedikit flamboyan?" Ayah mengernyitkan dahi seraya mencari kata yang cocok demi tak menyinggungku.
"Aku tak peduli soal apa yang sedang kau pikirkan," balasku sambil mengangkat bahu, "tapi aku bukan gay. That's all."
"Oke." Kemudian ia mengangguk. "Cuman bertanya."
"Kurasa Krist bukan flamboyan." Ibu menyelinap masuk ke dalam percakapan kami setelah menghidangkan jus jeruk. "Dia hanya... begitu memerhatikan penampilannya! Sejenis metroseksual."
Istilah apa lagi itu?
"Tapi yang jelas aku tidak mau punya anak gay."
Ayah bilang begitu seperti aku tak pernah melihat ia berselingkuh dengan crossdresser di dalam mobil yang bodohnya terparkir depan rumah. Aku tak bermaksud menyinggung crossdresser manapun. Aku hanya berpikir kenapa ada orang seperti ayahku yang begitu ironis dan menuduh anaknya sendiri gay.
Dan aku juga bukan gay, oke? Kurasa keberadaan Andrea sudah membuat pernyataan itu begitu jelas.
"Kenapa?" tanyaku dan kemudian beranjak dari tempat dudukku, "Takut suka dengan anakmu sendiri?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucketlist - [ Singto x Krist ]
Fiksi PenggemarSeharusnya aku tak semudah itu percaya pada Singto Prachaya. Mengingat jelas-jelas dia yang berselingkuh dengan pacarku. Akal sehatnya juga sudah hilang separuh. Jika kami bisa dipertemukan, tentu aku akan meninju wajahnya keras-keras. Tapi kami kin...