"Lalu apa?"
Singto terus mengucapkan hal yang sama kala tatapan kosongnya terkunci ke langit-langit kamar. Kewarasannya makin tak jelas akhir-akhir ini. Uang di tabungannya dikuras habis untuk membayar denda dan SIM-nya dibekukan selama beberapa bulan. Dan lebih buruknya lagi, ia harus bekerja sukarela menyapu taman tiap pukul tiga sore.
Dan aku? Selamat sentosa sebenarnya sampai kuingat banyak sisi dari hidupku yang banyak bergantung dari keberadaannya.
Aku menggeleng. "Entahlah. Dan tolong berhenti menanyakan hal yang sama."
"Oke." Kemudian ia kembali melempar bola tenis ke tembok. "Lalu apa?"
"Astaganaga!" keluhku sambil mengacak-acak rambut. Aku benci pengulangan jenis apapun, membuat otakku terasa didesak. "Berhentilah! Aku akan lakukan apapun yang kau mau tapi tolong berhenti!
"Apapun?"
"Tidak juga sebenarnya ta—"
"Lalu apa?"
"Baiklah! Apapun!"
Bola kuning itu berhenti terpantul ke tembok, membiarkannya berkeliaran di sekitar apartemen Singto yang sekarang makin buruk. Ia sudah seburuk pemiliknya beserta tamu yang tak punya malu menumpang di kamarnya. Kini apartemennya bak goa sampah betulan.
Tapi jika bicara soal urusan perut, itu bisa diatur. Mengingat ada Singto dengan sifat yang-bisa-jadi-klepto itu. Tak menyangka kalau itu bisa begitu menguntungkan. Meski rasanya tak mungkin untuk menyelipkan ayam bakar utuh ke sweater gombrongnya. Jadi kita hanya bergantung pada yang ada di kemasan.
"Ikut aku ke East Coast." ujar Singto, menunjukkan senyum penuh harapan seakan semua baik-baik saja.
Aku mengernyit. "Kau gila? Mobil saja tak punya! Lalu apa? Dan oh! Jangan harap aku mau pergi mencuri mobil bersamamu. Tidak akan. Sungguh. Sampai kapanpun!"
"Um.. Kita bisa menumpang 'kan?"
Benar juga. Kenapa aku repot-repot mencari kesalahannya?
"Tapi tetap saja! Kau nyaris dipenjara dan SIM-mu dibekukan. Lalu bagaimana dengan pekerjaan barumu yang menyapu sambil menyapa para manula di taman?!" ujarku yang mungkin tergolong berlebihan. Hey, tapi ini wajar 'kan?
Jemari Singto mendarat di dagunya, bibirnya dimajukan membuat seakan ia sedang menggunakan otak mungil itu untuk berpikir keras. Ide gila apa lagi yang akan muncul? Aku benar-benar tak mau kembali berurusan dengan polisi karena ini. Dan dari yang kutahu, mukjizat hanya datang sekali.
"Kita bisa naik pickup keponakan Tuan Dave."
"Astaga! Siapa lagi itu?!" keluhku kesal.
"Kita akan ke sana dengannya. Cukup panjang sih berjalannya, mungkin sekitar sembilan jam, tapi kita bisa bersenang-senang di sana. Lalu kita turun di dekat pantai, menyewa hotel, dan melakukan apa yang kita mau," jelas Singto yang sepertinya sudah ia persiapkan matang-matang.
"Padahal aku tanya 'siapa'. Dan tidak, aku tidak akan ikut denganmu. Apapun rencananya. Kau pikir aku tak cukup trauma dengan semua yang terjadi ini?"
Singto mengangkat alis "Kau bilang 'apapun' tadi."
"Kecuali ini."
"Pussy," bisik Singto.
"Apa kau bilang?!" Telingaku begitu sensitif dengan kata apapun. Jadi aku cuman ingin memastikan kalau ia masih berani bicara begitu kala menatap wajahku.
"Pertama, aku tadi bilang pussy. Dan kedua, aku akan bilang pussy. Pussy." Singto mengangkat bahu. "Terserah kau saja. Kuharap kau bisa bayar sewa untuk bulan depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bucketlist - [ Singto x Krist ]
FanfictionSeharusnya aku tak semudah itu percaya pada Singto Prachaya. Mengingat jelas-jelas dia yang berselingkuh dengan pacarku. Akal sehatnya juga sudah hilang separuh. Jika kami bisa dipertemukan, tentu aku akan meninju wajahnya keras-keras. Tapi kami kin...