TIGA PULUH TUJUH- mulai retak

77 31 149
                                    

Selamat membaca, semoga suka ❤️

••••

"pernyataan sama perasaan itu adalah dua hal yang gak pernah gue buat bercanda Es"

-Alden Vraha Januario

••••

Typo? Teriak!!

"Kamu siapanya?" Tanya dokter Dev langsung tanpa segan.

Gibran berdehem "saya temannya"

Jawaban itu membuat Dev manggut-manggut saja.

"Oh.., saya permisi dulu"

Deg!

Tiba-tiba Gibran menyambar tangan dokter Dev, entah apa yang ada dipikiran cowok itu.

Lantas Dokter itu menautkan alisnya keheranan.

"E .. kenalin saya Gibran" ujarnya kaku.

Dev tersenyum mengembang, ia sangat menerima tawaran jabatan tangan yang Gibran berikan "Saya Dev"

"Oh baik dok"

Bahasa kaku Gibran menimbulkan tawa garing "gak usah panggil dok kalau ditempat lain. Dev aja, Saya juga anak muda kalau di luar"

"Oh oke hehe"

"Saya permisi" pamitnya.

Setelah beberapa lama dokter Dev pamit dari sana, Gibran masih menunggu dikursi tunggu. Sampai gadis itu sekarang sudah terlihat berjalan kearahnya.

"Udah?" Tanyanya terkesan ketus.

"Em..Gue sakit perut nih. Pulang aja yuk" ajaknya.

Padahal itu hanya sebuah alibi agar Gibran tidak mengetahui niat busuknya. Semoga saja berhasil.

"Lo sakit perut?"

Anggi mengangguk dengan mulut dimonyongkan, berusaha sok imut dan tak ketakutan.

"Ini rumah sakit, Lo bisa berobat disini"

Plak!

Sekarang gadis itu sudah masuk ke permainan miliknya sendiri. Bagaimana ini? Apa alasan yang harus ia berikan?

"Gak Gib! Obat gue tuh khusus dan gak ada dipasaran atau rumah sakit manapun" tolaknya cepat.

"Lo emang penyakitan?"

"Gak! gak enak aja. Gue ya gak srek aja gitu" jawab sekenanya.

Tet tet tet

Gibran segera mungkin meraih benda pipih yang bergetar dari saku celananya dan langsung mengangkat nya.

"Halo?"

"Oh ..oke" ujarnya kemudian menutup telepon. Entah siapa yang telah menghubungi dirinya . Itu tidak penting yang jelas sekarang Anggi sudah bebas.

"Yaudah kita balik" putus Gibran yang membuat Anggi merekahkan senyum.

••••

Sepulang dari rumah sakit, Eska sudah memutuskan untuk kepanti asuhan terlebih dahulu. Ia tahu kehadirannya tidak akan diterima disana tapi Bu Ningsih juga tidak mengusirnya seperti waktu itu.

Wajah yang sudah memucat membuat Eska terpandang sebagai gadis penyakitan. Badannya yang mengurus membuatnya seperti seorang gadis lemah yang lain saja bisa terjatuh dan pingsan.

Kesehatan kalian adalah impian untuk mereka yang sakit. Tak usah banyak mengeluh dalam hidup karena kita gak pernah tahu apa yang orang lain harapkan sedang kita sesali. Manusia memang tak pernah puas, sudah diberikan kesehatan saja sepatutnya kita sudah bersyukur sebanyak mungkin. Tapi itu sangat jarang karena jika satu keinginan sudah dikabulkan maka manusia pasti akan meminta lagi dan lagi. Begitu.

"Bul?"

Gadis itu sontak menoleh, ia sudah tahu siapa yang memanggil dengan sebutan demikian.

"Alden? Kamu mau kemana?" Tanyanya penasaran.

"Bul kamu sakit?" Tanya Alden tanpa menjawab pertanyaan Eska. Cowok itu langsung turun dari motornya.

"Gak kok aku gak kenapa-kenapa" ujarnya enggan membuat cowok itu khawatir dengan kondisi kesehatan.

Alden memegang tangan gadis itu erat, ia ingin menyalurkan rasa ceria padanya "beneran?" Tanyanya dengan nada khawatir.

Membuat Eska tersenyum manis "iya, aku gak apa-apa kok"

"Kamu mau kemana?" Lanjutnya dengan pertanyaan.

"Nyariin kamu"

"Kenapa emangnya?"

"Aku rindu" ucapnya lamat membuat aura panas dingin mulai merambat disekujur tubuh Eska.

"Masa sih?"

Alden tersenyum miring "pernyataan sama perasaan itu adalah dua hal yang pernah gue buat bercanda Es"

"Yaudah deh.. gue percaya"

Ada sudut yang terangkat---lalu tanpa aba-aba Alden langsung menarik tangan gadis itu pelan untuk segera menaiki motornya. Awalnya Eska menolak dan mengajak Alden ke panti tapi jika dipikir ulang kapan lagi ia bisa mengunjungi tempat umum?

••••

Motor cowok itu berhenti tepat didepan kafe crystal. Setelah motor benar-benar berhenti Eska sedikit dibuat takjub oleh pemandangan orang-orang yang bermesraan, mereka terlihat sangat harmonis. Dan sehat sepertinya, karena jujur kadang Eska merasa iri akan hal itu. Tapi kadang juga ia berpikir lagi untuk apa iri? Jika memang takdir itu ada apapun pasti terjadi entah yang sudah diharapkan atau belum pernah terlintas dibenak sekalipun.

"Yuk" ajak Alden sembari menyodorkan telapak tangannya, tentu saja Eska sangat senang dan segera membalasnya.

Keduanya bergandengan kedalam, membuat tak sedikit beberapa pasang mata memandang. Sungguh pasangan yang sempurna.

"Lo mau makan apa?"

Eska melirik menu kesana-sini---bingung apa yang akan dirinya pesan.

"Gue bingung nih"

Penuturan polos gadis itu membuat Alden terkekeh geli, sungguh menggemaskan.

"Kamu suka coffe?"

Eska mengangguk setuju, lagipula ia juga sangat menyukai itu.

Seorang pelayan datang dan pergi setelah mengulangi pesanan  keduanya. Tak berselang beberapa menit minuman keduanya sudah sampai membuat Eska langsung menyeruput coffe miliknya.

Alden sangat asyik memandangi gadis yang meminum coffe dihadapannya itu. Hingga matanya menangkap setitik bekas coffe di pinggir bibir Eska.

Tangan Alden tergerak sendiri mengusap noda itu. Tanpa disangka Eska sendiri juga terkaget dibuatnya.

"Astagfirullah Alden jangan bikin jantung gue maraton dong!"

"Wajah Lo merah" tegur Alden tiba-tiba.

Memang semuanya terkesan tiba-tiba. Tiba-tiba peduli, perhatian, cuek, dingin. Apa semuanya memang harus demikian?"

••••

TBC

#cuapcuapauthor
Part ini pendek banget dong:v
Lagi sibuk+ mood yang suka berubah-ubah:v
Plak! Syedihhh:(

Hiks!

Stay tune^^

See you next part^^

Salam,

Mbakvi🧚🏻‍♀️





Before You Go Lanjutan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang