Setelah satu bulan pikirannya diokupasi ekspresi kesedihan Plan saat ia menemui Mean secara singkat pada malam itu, akhirnya ia menemukan jawaban.
Itu karena takdir mempertemukan mereka kembali pada suatu malam saat Mean meninggalkan tas kerjanya secara tak sengaja di sebuah restoran seusai makan malam dengan seorang klien. Plan yang kebetulan adalah pelayan di sana tengah membersihkan bekas makan mereka dan menemukan tas Mean dan melaporkannya kepada manajernya. Manajernya kemudian langsung mengambil tindakan dengan menelepon Mean yang didapat dari data buku tamu dan meminta Plan mengantarkan tas itu kepadanya.
Saat mereka bertemu kembali, Mean bahagia bukan main. Mereka kemudian mengobrol lama di depan bangku sebuah minimarket yang menyajikan kopi panas murah dan dari obrolan itulah Mean memahami yang terjadi kepada Plan. Mereka duduk bersebelahan dan untuk sejenak mata mereka menerawang keluar dari balik jendela.
Plan ditipu oleh Kavin. Kavin menjanjikan dirinya pekerjaan sebagai seorang pemasak di sebuah restoran terkenal di Bangkok. Namun, itu mengharuskan dirinya tinggal di Bangkok dan artinya ia harus menyewa atau membeli sebuah rumah untuk dirinya dan anaknya.
Nenek Plan bahagia mendengar hal ini dan tanpa sepengetahuan Plan menjual rumah yang mereka tinggali dan memberikan uang kepada Kavin untuk mencarikan rumah di Bangkok untuk mereka. Padahal Plan sendiri berniat untuk menyewa rumah kecil dengan uang tabungan yang ia punya.
Pada awalnya, Plan tak ada masalah. Ia menunggu berita dari Kavin tentang pekerjaan itu. Dan bagi Plan ini masalah keberuntungan saja. Jika ia beruntung, ia akan mendapatkan pekerjaan itu dan memulai kembali kehidupannya di Bangkok, jika tidak ia akan melanjutkan kehidupannya seperti biasanya.
Namun, seiring berjalannya waktu, nenek Plan terus bertanya kepada Plan tentang pekerjaan itu. Ini menimbulkan rasa curiga kepada Plan kenapa neneknya begitu antusias dan selalu ingin tahu tentang kabar pekerjaan itu, tapi Plan hanya menyimpannya di dalam hati, sampai suatu hari akhirnya neneknya jatuh sakit dan mengakui kejadian yang sebenarnya.
Plan sangat kaget. Ia sangat sedih dan kecewa, tapi ia juga paham bahwa neneknya ingin memberikan yang terbaik untuk hidupnya. Plan bukanlah orang bodoh, tapi kebohongan Kavin sangat meyakinkan. Ia bahkan sudah diwawancarai oleh manajer restoran yang mungkin juga komplotannya.
"Kenapa nenekmu melakukan itu?" Mean bersuara setelag sekian lama ia pasang telinga dan pikirannya untuk mencerna semua cerita Plan.
Plan melirik ke arah Mean dengan ekspresi yang terlihat bingung.
"Maksudku, nenekmu tidak pernah seceroboh itu. Pasti ada alasan yang kuat saat ia melakukan itu," ujar Mean lagi.
"Ada hal yang kau tak tahu dalam kehidupan kami, Mean," nada Plan menjadi agak sedih. Ia kemudian mengembuskan napasnya perlahan.
Mean diam. Ia paham bahwa Plan akan melanjutkan bicaranya."Sebenarnya, keluarga Perth tak pernah menyetujui hubungan kami," sahut Plan memulai lagi pembicaraan. Kali ini respons Mean adalah sebuah kekagetan. Plan menatapnya dan tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
"Setelah Perth meninggal, keluarganya mengusirku dan Gee. Kami tidak akan mendapatkan apapun yang berkaitan dengan warisan dari Perth. Mereka bahkan mengambil mas kawin yang diberikan Perth kepadaku. Nenekku tahu tentang ini dan ia merasa sakit hati. Kurasa itulah alasannya kenapa ia bertekad menjual rumah satu-satunya. Ia ingin menunjukkan kepada keluarga Perth bahwa aku juga bukan orang miskin, bahwa aku akan menjadi orang yang sukses. Sudahlah! Semuanya sudah lebih baik sekarang." Plan menyimpulkan.
"Di mana nenekmu sekarang?" tanya Mean. Mata Plan berkaca-kaca dan ia menunjuk ke langit.
"Astagaa, Plan! Kenapa aku tak tahu tentang hal ini," sahut Mean lagi. Nadanya merasa bersalah.