"Selamat pagi," bisik Mean dan ia menelusupkan tangannya dari belakang Plan. Mereka berada di dapur. Plan tengah mempersiapkan sarapan saat Mean mengagetkan dirinya dari belakang.
"Hei, mandi dulu!" bisik Plan sambil menoleh dan mereka berciuman lembut.
"Sebelum mandi, main dulu!" bisik Mean lagi dan ia mulai menjelajahi leher Plan.
"Kau tak lapar?" tanya Plan.
"Lapar menindihmu," bisik Mean.
Plan hanya tersenyum. Ia membalikkan tubuhnya dan mencium Mean di bibirnya. Mereka berciuman dengn sangat intens. Mean menaikkan Plan ke meja dapur dan dengan cepat menurunkan celana dalamnya dan mengelus nona Plan lembut.
"O, cantik sekali," bisik Mean sambil mengamatinya dengan penuh kekaguman.
"Ini milikku," bisik Mean sambil menatap Plan yang lengannya mengalung pada leher Mean.
"Iya, semuanya hanya punyamu," sahut Plan lembut dan ia membelai rambut Mean sambil tersenyum.
"O, Baby, ini bukan mimpi, bukan?" Mean mencubit tangannya.
"Tentu saja, bukan. Aku milikmu, Mean" bisik Plan lagi dan ia mengecup Mean di keningnya dan menyatukan keningnya dengan kening Mean sambil tersenyum.
"O, Meaaan so goood!" lirih Plan saat Mean mendorong naganya masuk. Mereka melakukannya di meja dapur dan setelahnya di kamar mandi. Sungguh tak ada satu ruangan pun yang terlewat untuk mereka jadikan kenangan kisah manis mereka.
Keduanya begitu bahagia dan terbuka. Sebuah definisi pasangan yang dilanda cinta. Mereka tak segan untuk saling merayu dan menggoda. Bola takdir benar-benar telah berputar dan membuat mereka dalam garis yang sama. Sudah waktunya mereka membangun cerita cinta mereka, setelah jalan yang berbatu-batu dan bau dan hampir membuat harapan mereka sirna.
Mereka bercinta seperti pengantin baru. Pagi, siang, dan malam. Selama empat hari itu, mereka benar-benar meluapkan apapun yang ingin mereka lakukan dalam perjalanan hidup mereka sebelumnya. Jika saja mereka saling jujur, mungkin mereka sudah lama menjadi sebuah keluarga.
Tembok itu sudah mereka runtuhkan dan mereka kini bisa menjalani kehidupan yang mereka inginkan, kecuali satu hal, bahwa mereka harus siap berhadapan dengan Neena, satu-satunya hal yang mereka khawatirkan karena perempuan ini tak segan untuk menyakiti orang lain tanpa ampun.
Mean menyusun sebuah strategi. Ia membeli mayat yang menyerupai dirinya, Plan, dan Gee. Setelah itu, ia membakar rumah Plan dan mengumpulkan cukup bukti bahwa Neena adalah pelakunya. Mereka pergi meninggalkan Thailand dan memulai kehidupan baru di Finlandia. Mean meninggalkan semuanya untuk Plan, impian terbesarnya, cinta dalam hidupnya.
Mereka tinggal di sebuah desa kecil dan bekerja di sebuah penginapan. Tidak apa-apa. Mereka bahagia meski kehidupan yang mereka bangun tidaklah besar.
Enam bulan setelah mereka pindah ke Finlandia, Mean dan Plan menikah. Gee sangat bahagia.
Setahun kemudian, Plan melahirkan anak mereka yang pertama, seorang putra yang diberi nama Dee. Ia mirip dengan Mean.
"Pho, Pho, Pho!" teriak Tee sambil berlari menuju ayahnya yang baru saja menutup pintu pagar.
"Hai, Baby Teeee, sayaaaang," ayahnya berlutut dan membuka kedua tangannya siap memeluk. Tee tertawa kecil. Ia menghambur ke ayahnya dan langsung mencium pipinya.
"Di mana Mae?" tanya Mean sambil menggendong Tee.
"Di kamar, menyusui Dee," jawab Gee yang keluar juga menyambut ayahnya. Mean tersenyum.
"Kau sudah pulang? Bukannya hari ini kau akan pergi ke Festival Musik dengan teman-temanmu?" Mean mengusak rambut Gee pelan.
"Nanti sore, Pho," ujar Gee dan ia merapikan kembali rambutnya yang dibuat kusut Mean.
"Perlu bantuanku?" tanya Mean. Ia duduk di kursi teras dan Tee duduk di pangkuannya.
"Iya, tolong katakan pada ibu, jangan cerewet meneleponku karena aku pasti pulang tepat waktu," sahut Gee sambil mengangkat alisnya.
"Ah, itu! Ya, tentu saja," sahut Mean sambil tersenyum.
Gee menganggukkan kepalanya.
"Bawa adikmu ke dalam," sahut Mean. Gee menganggukkan kepalanya. Ia menggendong Tee dan Mean membuka sepatunya dan menuju dapur mencuci tangan dan kakinya.
Setelah itu, ia berlari ke kamar Plan dan mendapati sang istri tengah menyusui anaknya, Dee yang baru saja lahir empat puluh hari yang lalu.
"Baby Dee, sedang apa? Pho mau juga," bisiknya di telinga Dee. Plan hanya mengerling.
Sejak mereka saling terbuka tentang perasaan mereka, Plan menyadari satu hal bahwa suaminya ini sangat mesum, meski itu hanya kepada dirinya.
"Tumben kau pulang lebih awal," sahut Plan sambil memperbaiki posisi menyusuinya.
"Bosku membolehkan aku pulang. Dia bilang, pulang dan temani istrimu," ujarnya, memperagakan seperti bosnya.
Plan tersenyum.
"Aku akan memasak. Kau mau makan apa?" tanya Mean sambil menggulung kemeja pada bagian tangannya.
"Apa saja. Aku tak masalah," sahut Plan. Mean menganggukkan kepalanya. Ia berjalan ke dapur dan mulai memasak. Betapa bahagianya mereka meskipun mereka menjalani kehidupan yang sederhana.
Mereka berkumpul di ruang makan dan menikmati makan malam bersama. Makan malam mereka lebih awal hari itu, sebab Gee akan pergi dengan teman-temannya.
Neena masuk ke dalam penjara. Bree tinggal dengan nenek dan kakeknya. Ia tahu bahwa Mean bukan ayah kandungnya. Ia sangat sedih, tapi ia tahu bahwa ayahnya juga ingin hidup bahagia dan oleh karena itu, ia memilih meninggalkan dirinya.
Begitulah. Bola takdir memilih mereja bersama dan bahagia. Meskipun cinta mereka bersambung setelah mereka bersama dengan yang lain, cinta adalah cinta. Mereka pasti bahagia.
Tamat