Bagian Keempat

21 3 1
                                    



"Gak usah pulang sekalian!" Tosca masih memejamkan matanya di atas kursi saat Jingga datang.

"Kepala sama tangan kamu kenapa diperban?" Jingga menghentikan langkahnya di depan pintu dan menatap Tosca lekat.

Tosca membuka matanya. "Kenapa tanya?"

"Ya kakak peduli!"

"Sejak kapan, kak!?" Tosca bangkit. "Saya terluka gara-gara kakak. Saya menyesal, kenapa Tuhan tidak langsung mematikan saya saja tadi? Agar kakak puas bermain laki-laki!"

Air mata Jingga menetes. "Kakak lelah, Tosca."

"Saya lebih lelah. Hati saya lebih terluka. Berapa kali saya harus bilang? Saya melarang karena sayang! Saya tak mau harga diri dan masa depan kakak hancur."

"Tapi-"

"Tapi apa? Tapi kakak gak bisa berhenti?" Tosca lelah, dia tertunduk dan menangis.

Jingga menghampiri Tosca, memeluknya. "Maafin kakak."

"Maaf tidak bisa merubah segalanya."

"Lalu, kakak harus bagaimana?" Ucapnya lagi ketika tak mendengar jawaban.

"Bunuh saja saya supaya kakak bisa berbuat sepuasnya."

"Tosca!"

"Bunuh saja saya jikalau kakak tak mau berhenti."

*

"Tosca?"

Tosca yang sedang terduduk di taman kota, menoleh kesumber suara. "Abu?"

Abu ikut terduduk di samping Tosca."Kok kita bisa ketemu di sini ya? Mungkin jodoh?"

Tosca meringis. "Apaan sih?"

"Eh, gimana kabar kamu? Udah sembuhkan?"

"Masih sakit tahu!" Tosca meringis.

Abu menatap Tosca lekat. "Maaf."

"Duh jangan ngeliatin saya seperti itu dong! Malu tahu!"

Abu tertawa terbahak, lalu tiba-tiba berhenti. "Kenapa mata kamu sembab?"

Pertanyaan itu membuat Tosca menyentuh matanya sembari tertunduk.

"Kamu nangis ya?"

"Gak kok."

Abu menarik napas, "Kalo ada apa-apa, cerita aja. Aku siap jadi pendengar yang baik."

Tosca menatap Abu dengan senyuman manis yang tersungging.

*

"Aku mau berhenti," Jingga memberanikan menyatakan isi hatinya.

Burno, sang boss, yang selama ini memperkenalkan Jingga ke sana-sini, yang membuatnya menjadi seperti pelayan yang harus melayani laki-laki kehausan, tak terima mendengar ucapan Jingga. "Enak aja kamu bicara!"

Jingga menunduk, "Saya serius."

"Kamu pikir segampang itu, hah? Gak bisa!"

"Tapi saya tetap dengan keputusan saya," Jingga menatap Burno dengan ujung matanya yang tajam.

"Cih! Kalo kamu ngotot, saya akan lebih ngotot! Lihat akibatnya nanti!"

Tapi Jingga sudah tak peduli. Dia bangkit dan meninggalkan Burno dengan kekesalannya. Menghiraukan ancaman besar yang nantinya akan merubah takdirnya.

*

"Semangat amat kamu Nav."

"Iyalah kan mau ketemu pujaan hati!" katanya sambil menyisir rambut.

"Anak bunda udah tahu cinta nih ya," Bunda mengacak-acak rambut Navy yang sudah rapi, membuatnya merengek seperti anak kecil.

"Bunda jahil!"

Navy sudah siap dengan sebuah kado di tangannya. Dia tersenyum dan berkaca sekali lagi sebelum akhirnya beranjak pergi.

Dengan mengendarai motor vespa diminggu sore, dia terus tersenyum geli membayangkan wajah Tosca yang kaget ketika melihatnya. Pasalnya, dia tidak menghubungi Tosca bahwa dia sudah pulang dari camping.

Tapi dia penasaran, sebelum sampai rumah Tosca, Navi berhenti untuk menelpon Tosca. Dia mengernyit ketika yang didengarnya bukan suara kekasihnya, melainkan suara orang lain yang memberitahukan bahwa nomor tersebut tidak aktif.

Ketika sampai di depan rumah Tosca, dia disambut oleh Bi Anih yang sedang menyapu halaman. "Eh Aden Navy," katanya sambil tersenyum.

"Tosca ada Bi?"

"Baru saja Tosca keluar. Katanya mau ke taman yang di belakang komplek."

"Oh makasih Bi. Saya titip motor ya."

Dengan langkah penuh semangat, Navy bergegas mengunjungi taman yang dimaksud Bibi. Tapi, tak biasanya dia pergi ke taman. Biasanya Tosca hanya akan menghabiskan waktu dengan membaca buku ataupun melamun di balkon kamarnya.

Langkah Navy sedikit terhenti ketika tak sengaja dia melihat Tosca yang sedang duduk bersama laki-laki yang tidak ia kenali.

"Ekhm." Navy mencoba berdehem dan sukses membuat Tosca berdiri karena kaget.

Dada Navy sesak, dia ingin sekali marah. Kenapa wanita yang dicintainya tidak bisa menunggu dengam setia? Apa harus ditemani laki-laki lain?

Tapi ketika Tosca menatapnya, amarahnya berubah. "Ayo pulang, Tosca." Matanya yang menatap laki-laki itu dengan dingin.

*

"Kenapa?" Navy mengganti perban ditangan Tosca. Yang ditanya hanya meringis.

"Hey." Navy memberhentikan aktifitasnya dan menatap Tosca lekat. "Kenapa? Ada apa?"

Pertanyaan yang sukses membuat siapapun kembali merasakan sakit ketika rasa sakit tersebut mencoba untuk disembunyikan.

Dan ya,

Jawaban yang keluar dari Tosca hanyalah tangisan tanpa kata.

Dengan lembut dan penuh hati-hati, Navy memeluknya. Hatinya ikut sakit ketika kekasihnya sakit. Bisa-bisanya ketika dia membutuhkan dirinya malah tidak ada?

"Gapapa.

Gapapa, Tosca.

Bukankah aku milikmu?"



***

Haloo. Maaf baru kembali setelah hiatus selama ini. Aku harap kalian masih tertarik untuk membaca ceritanya. Maaf kalo bagiaan keempat ini masih membingungkan. Aku juga berharap kalian selalu mendukung cerita-cerita yang ada di akun ini. Jangan lupa follow, vote dan coment yaa! 


Terimakasih semuaaa, love you

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Last ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang