5. Kontrak Sepihak

540 39 8
                                    

Rahee dulu memiliki kehidupan yang baik. Keluarga utuh dan secara ekonomi pun berkecukupan. Hingga kecelakaan mobil dengan tragis menewaskan ibu, ayah, juga kakak satu-satunya. Seluruh anggota keluarganya direnggut paksa saat usainya baru beranjak 15 tahun. Tepat di hari pemakaman, ada pelayat yang tersisa, yaitu seorang wanita dan anak kecil. Anak lelaki itu berkisar tiga tahun, asyik menggambar menggunakan crayon warna.

"Apa kau Angelia Rahee? Kau anak bungsu dari Mas Hendra, kan?"

"Iya, anda benar. Kalau boleh tahu kenapa anda bertanya?"

"Aku dan ayahmu adalah rekan kerja. Kami... menjalin hubungan secara diam-diam. Bukti cinta kami adalah anak ini, Angelo Bimo," wanita itu menyodorkan anak lelaki tadi, lalu tersenyum masam. Lain halnya dengan Rahee yang tak dapat berkutik. Rahee merasakan pengkhianatan besar yang diciptakan oleh sang ayah. "Tapi Mas Hendra sudah tiada, dan aku tidak sanggup membiayai pengobatan Bimo lagi. Aku titip dia padamu, jika kau menolak, kau bisa menelantarkannya di jalan."

"Ibu! Jangan tinggalkan aku!"

Selanjutnya, Rahee menyaksikan bagaimana sang anak ingin ikut pergi bersama wanita yang bahkan tak pantas disebut sebagai ibu. Tubuh kecil Bimo dipukul berulang kali. Rahee terenyak di tempat. Dia berniat berlari menyusul selingkuhan ayahnya, lantaran dia pun engga menerima lemparan tanggungjawab sebesar ini. Ya, seharusnya Rahee memikirkan bagaimana kehidupannya akan berlanjut usai menjadi yatim piatu, tapi dia dengan mudahnya mengasihani nasib anak ini terlebih dahulu.

Tidak diinginkan oleh ibu sendiri.

Dicampakkan.

Telantarkan saja di jalan.

Sungguh keji.

Dengan ragu ditepuklah pelan punggung mungil tersebut. Bimo mendongak dengan wajah penuh air mata. Rahee melihat ada dirinya pada Bimo. Kondisi mereka serupa; sendirian dan tanpa tujuan.

"Tak apa. Ada aku. Ada... kakak di sini."

"Kakak?" ujar Bimo, mengulangi perkataan Rahee.

Ada senyum yang terukir di wajah Rahee. Hatinya pun seketika menghangat. Semula terlintas pemikiran untuk menyusul anggota keluarganya, sekarang tidak lagi. Dia masih memiliki adik.

"Ya, aku adalah kakakmu," jawab Rahee sambil menghapus tangisan di pipi tembam Bimo. "Siapa yang kau gambar?"

Jemari Bimo melepaskan kertas yang sedari tadi dia genggam erat. Wajah nanarnya bertutur, "Ibuku."

"Mulai sekarang kau gambar aku saja. Oke?"

"Kak, kenapa melamun? Aku mau disuapi lagi."

Ucapan Bimo menjadikan Rahee tersadar dari ingatan masa lalu. Yang barusan bicara adalah Bimo dengan usia 10 tahun, bukan lagi 3 tahun. Waktu berlalu cepat. Walau keadaan mengenai kesehatan Bimo tidak berubah banyak, Rahee tetap bangga karena adiknya mampu bertahan dengan luar biasa. Pun Rahee mengambil satu sendok tofu dan nasi, menyuapi Bimo yang asyik bermain ponsel.

"Bukankah kau bilang hanya anak-anak yang disuapi?" Rahee mengingatkan.

"Aku juga tidak suka disuapi, tapi aku sedang sibuk bermain," jawabnya cengengesan.

Kali ini Rahee diam-diam menaruh tumis kacang polong di bawah nasi, kemudian menjejalkannya ke mulut Bimo. Adiknya benci sayuran dan Rahee harus punya jurus jitu. Detik berikutnya Bimo langsung mendelik kesal.

"Jangan protes. Kau harus makan sayuran agar cepat sembuh," ujar Rahee.

"Huh, kau kakak yang pemaksa."

Paman Dio dan Bibi Miran tertawa. Mereka sedang menikmati buah jeruk yang dibawa oleh Rahee, sambil sesekali bercanda dengan Bimo yang masih cemberut.

Trapped By The Devil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang