9 - Cinta Atau Keluarga

47 11 10
                                    

Aku tahu ini salah dan sangat egois. Tapi, aku harus memutuskan. Memilih antara cinta atau keluarga.

***

Kayla ragu untuk mengetuk pintu di hadapannya. Tangannya yang terangkat, kembali diturunkan. Itu dia ulangi berkali-kali, hingga akhirnya dia memutuskan untuk mengetuk. Sekali ketukan pelan, disusul ketukan lain yang lumayan keras. Belum ada sahutan dari dalam, Kayla menjeda ketukannya. Selang lima menit, dia kembali mencoba. Tepat setelah ketukan ketiga, Abizar menjawab, mempersilakan Kayla masuk. Dengan pelan, Kayla memutar kenop pintu, melongokkan kepalanya ke dalam. Dia melihat Abizar sedang membaca di meja belajar. Lengkap dengan kacamata baca yang menambah karismatiknya.

“Ada apa, Kay?”

“Gue mau minta ajarin. Gue nggak paham sama soal yang ini. Kebetulan, lo ads buku yang dikasih Bu Arni soal Matematika Bisnis, kan. Lo pasti tahu,” ucap Kayla pasti. Kini gadis itu tengah duduk di ranjang. Lantas menunjuk soal di buku yang dibawanya. Abizar menggeser kursi, melihat soal yang tak ditunjukkan oleh Kayla. Pemuda itu mengangguk sekali, lantas mulai menjelaskan.

Kayla mendengarkan dengan khidmat. Dia sesekali mengangguk paham. Setelah Abizar selesai menjelaskan, Kayla mencoba  mengerjakannya. Jemari gadis itu menulis lincah. Tulisannya rapi dan mudah dibaca.

“Bagini?” tanya Kayla sembari mengernyit. Pulpen diketuk-ketuk di atas dagu, kebiasaan saat selesai mengerjakan soal.

“Bener, Kay. Ada yang nggak kamu pahami lagi?”

Kayla menggeleng, lantas beranjak dari duduknya. Dia mengucap terima kasih kepada Abizar, kemudian berjalan menuju pintu. Baru dua langkah keluar, dia teringat sesuatu. Kayla membalikkan badan, menatap Abizar yang masih di posisi sebelumnya.

“Lo harus hati-hati mulai sekarang, Bi. Kemarin, gue nggak sengaja lihat Alfaden nemuin Binar. Cewek polos itu juga dalam bahaya. Gue denger semua percakapan mereka di kafe, sepulang kuliah.”

“Jadi, kamu bohong tadi, Kay?”

“Terpaksa. Soalnya ini hal penting menurut gue, jadi ya gitulah.”

Abizar berdiri dari duduknya, mencopot kacamata baca dan menghampiri Kayla. Dia penasaran, mengapa Kayla sampai menyuruhnya hati-hati?

“Emang, mereka bicara apa?”

“Rencana jahat buat ngelukain lo pokoknya. Gue nggak tahu apa, karena Alfaden bilang bakal ngasih tahu ke Binar lewat WhatsApp,” jawab Kayla jujur. Kini dia bersandar di pintu kamar Abizar.

“Soal Binar yang dalam bahaya, itu maksud kamu apa?”

Kayla menghela napas pelan, menatap Abizar dengan intens. “Alfaden itu orangnya licik dan nekatan, Bi. Gue kenal dia udah lama. Jadi ya lo hati-hati.”

“Terus, kenapa kamu malah mau jadi pacarnya, Kay?”

Kayla terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Abizar. Dia sendiri juga bingung, kenapa dulu bisa menerima cinta pemuda bajingan seperti Alfaden. Ya, cinta monyet yang menutup matanya.

“Entahlah, gue juga nggak tahu. Tapi kan yang lagi kita bahas sekarang bukan hubungan gue sama Alfaden. Ini soal lo sama Binar,” elak Kayla. Gadis itu menatap kesal Abizar.

“Justru, kamu yang dalam bahaya kalau masih sama dia, Kay. Kamu tahu juga kan, di agama kita, pacaran itu dilarang. Jadi—”

“Stt! Gue tahu, gue tahu. Nggak usah lo bilangin juga. Tapi kan, gue nggak mau masa muda gue datar-datar aja. Lagian, gue juga nggak ngapa-ngapain selama pacaran. Itu bukan masalah,” sewot Kayla sambil berdecak. Niatnya kan hanya memperingati, kenapa dirinya yang malah dipojokkan?

“Maaf, dan makasih buat infonya, Kay. Selamat malam,” ucap Abizar pelan sembari menutup pintu. Membuat Kayla tambah melongo di tempatnya.

“Cih, emang nggak seharusnya ya gue baikin dia. Bikin emosi aja!”

***

Di halte biasa, tempat Binar menunggu angkot. Tiba-tiba saja ada sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depannya. Pengendara mobil tersebut turun, tampilannya yang modis, beserta kacamata hitam, membuat Binar cukup terpesona. Dia tak mengenali pengendara tersebut. Sampai pengendara itu bersuara, membuat Binar seketika menciut takut. Alfaden.

“Lo ikut gue! Lo harus dipermak dari sekarang. Pulang sekolah kelamaan. Kita bolos kuliah!” perintah Alfaden sembari menarik paksa lengan Binar untuk mengikutinya.

“Bo-bolos? Kita mau ke mana? Argh, tangan aku sakit, Al. Lepasin,” pinta Binar dengan suara kecil. Matanya sudah kembali berkaca-kaca.

“Lo ikut aja. Nggak usah banyak tanya atau protes.”

Setelah memasukkan Binar ke mobil, Alfaden menginjak pedal gas cukup tajam. Hingga mobil melaju dengan cepat. Cukup memakan waktu perjalan yang ditempuh Alfaden. Kini mereka sampai di depan sebuah butik sekaligus salon ternama yang ada di kota. Alfaden turun, lantas membukakan pintu untuk Binar. Dia kembali menarik pergelangan tangan gadis itu. Membuat si empunya lagi-lagi kesakitan.

“Diem. Nggak usah cengeng banget jadi cewek. Gue ini udah berusaha lembut ya sama lo, jangan buat gue emosi.”

Binar kaget mendengar bentakan Alfaden, akhirnya gadis itu menurut. Memghentikan tangis, dan berjalan sukarela mengikuti Alfaden. Sesampainya di dalam, mereka disambut oleh perempuan muda, berusia sekitar 25 tahun. Dia menyapa dengan ramah, tanpa basa-basi lagi, dia mengajak Binar masuk ke salon. Lantas Alfaden memilih menunggu di sofa yang disediakan.

Selama tiga jam, Binar menjalani berbagai perawatan. Kacamata, baju, dan tasnya sudah raib entah ke mana. Kini dia sudah berubah 180 derajat. Saat memandang kaca, dia hampir saja tak percaya. Apakah itu memang pantulan dirinya yang sekarang? Beda sekali.

“Nah, sudah selesai, Nona. Sekarang Anda tak perlu menggunakan kacamata lagi, softlens itu bisa membuat Anda melihat dengan jelas.” Perempuan muda itu tersenyum, melihat karyanya yang tak pernah mengecewakan. Dia menyuruh Binar berdiri, setelah itu memberikan tas branded. Mereka berdua keluar menemui Alfaden yang sedang menunggu.

“Tuan Muda, Nona ini sudah selesai kami permak seperti yang Anda minta semalam. Bagaimana? Anda suka dengan hasilnya?”

Alfaden mendongak, mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Dia tak berkedip beberapa saat, terpesona dengan tampilan cewek cupu sekarang ini. Ah, tidak. Binar sudah berubah menjadi cantik. Bahkan, softlens biru yang dipakainya, membuat dia mirip dengan Kayla. Beberapa detik kemudian Alfaden tersadar dari kebodohannya, lantas mengubah wajah kembali datar.

“Lumayan. Uangnya sudah saya transfer.”

Setelah berkata demikian, Alfaden menarik Binar pergi. Gadis itu cukup susah berjalan dikarenalan heels tinggi yang dipakainya. Dress motif bunga-bunga pendek yang dipakai juga membuatnya tak percaya diri. Ke mana lagi Alfaden akan membawanya?

Ya Tuhan, lindungi aku.

Abizar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang