15 - Kedatangan Orang Tua Abizar

44 9 6
                                    

Ketika rasa rindu dan cinta ini diharamkan, aku bisa apa? Hanya bisa mendoakan namamu setiap malamnya pada Tuhan. Jika kita tak bisa bersatu di dunia fana, semoga kita bersatu di Jannah-Nya.

***

Hari ini adalah adalah hari yang bersejarah untuk Abizar. Hari ini dia akan memakai toga dan meraih gelarnya. Perjuangan selama 3 tahunnya tak boleh sia-sia. Meski kedua orang tuanya tak datang, Abizar harus tetap bahagia. Bagaimana pun, pamannya sudah rela datang untuk mendampingi. Dia harus tetap terlihat kuat.

“Halo, Bi. Selamat, ya. Kamu udah lulus sekarang,” ucap Binar sembari menggendong seorang bayi tampan. Dia memberi bunga kepada Abizar sebagai ucapan selamat.

“Makasih, Bin. Kalau kamu nggak berhenti kuliah, kita harusnya bisa wisuda bareng. Sama Kayla juga, kalau dia nggak pindah.” Ucapan Abizar memelan di akhir kalimat. Binar yang mendengarnya hanya bisa meringis kecil.

“Ah, iya. Tapi semua udah kejadian, Bi. Aku senang kok dengan keadaanku saat ini. Jadi ya dinikmati aja,” ucap Binar santai, lalu tertawa setelahnya. Abizar ikut tertawa kecil. Tangannya menyentuh pipi bayi yang ada di gendongan Binar, mengusapnya dengan lembut.

“Ganteng banget sih kamu. Semoga menjadi anak yang sholeh ke depannya ya, Nak,” ucap Abizar sekaligus menjadi doa yang diaminkan oleh Binar.

“Iya, Paman Abi,” jawab Binar dengan suara dibuat-buat seperti anak kecil. Membuat Abizar dan Satya tersenyum bahagia.

“Oh, ya. Kita foto-foto dulu yuk. Kayak yang lain. Sebagai kenang-kenangan pas kita udah tua nanti,” ajak Binar sembari menunjukkan ponselnya. Lantas meminta tolong ke salah satu mahasiswa yang lewat di depannya.

“Tolong fotoin ya, Mbak. Sebentar,” ucap Binar sembari mengambil posisi di sebelah Abizar. Mereka bertiga berfoto dengan posisi Abizar di tengah, di kanannya ada Binar dan di sebelah kiri ada Satya. Mereka tersenyum bahagia ke arah kamera.

“Makasih banyak ya, Mbak. Maaf repotin,” ucap Binar sembari mengambil kembali ponselnya. Si Mbak-Mbak yang memfotokan tadi hanya tersenyum.

“Nggak apa-apa lagi, Bin. Lo udah lupa sama gue? Kita kan temen sekalas. Haha. Btw, lo udah married aja. Udah punya debay lagi. Namanya siapa?” tanya Mbak yang memfotokan Binar tadi.

“Eh, kamu Intan?” tanya Binar sedikit ragu. Dia pangling.

“Iya, ini gue Intan. Jadi, siapa nama bayi ganteng ini?”

“Albi,” jawab Binar pelan sambil mengusap pipi gembil putranya.

“Ah, bagus banget namanya. Eh, bentar. Mukanya kayak mirip sama seseorang deh. Dia kayak—”

“Intan, sini. Mama sama Papa lo udah dateng nih!” Seruan tersebut memotong ucapan Intan. Perempuan muda itu segera saja pamit ke Abizar dan Binar untuk menemui orang tuanya. Binar mengangguk dan tersenyum lega. Dia memeluk bayinya lebih erat dari sebelumnya.

Sedangkan di tempatnya, Abizar tersenyum miris. Apa dia bisa merasakan kebahagiaan itu? Ketika orang tua teman-temannya datang untuk merayakan wisuda anak-anaknya.

“Bi, kamu nggak apa-apa, kan? Paman ke sana dulu, ya. Ada teman lama,” ucap Satya sembari pamitan. Abizar menggeleng lantas mengangguk setuju. Dia menuju taman belakang kampus. Diikuti Binar di belakangnya.

Mereka hanya duduk di bangku panjang dengan diam. Belum ada yang berbicara. Bahkan Binar pun masih ragu untuk memulai pembicaraan.

Perempuan muda yang sudah menjadi ibu di usianya sekarang ini masih memikirkan bahasan yang tepat. Setelah sepuluh menit berpikir, akhirnya Binar memutuskan untuk memulai percakapan.

“Bi, Kayla belum juga pulang?”

“Belum. Dia masih harus di pesantres satu setengah tahun lagi, Bin.”

“Kamu cinta sama dia, ya?”

Abizar langsung saja menoleh saat mendengar pertanyaan Binar yang terakhir. Lantas dia menundukkan kepala. Tak tahu harus menjawab apa.

“Aku nggak tahu, Bin. Aku ngerasa perasaan ini salah. Aku sama Kayla kan sepupu, nggak mungkin kami bersama.”

Binar mengernyit, sepertinya dia pernah mendengar penjelasan soal hubungan ini.

“Bukannya sepupu ini bisa menikah ya, Bi?”

“Bisa, asal nggak dari saudara Ayah.”

Binar mengangguk paham mendengar penjelasan Abizar. Dia menepuk-nepuk tubuh Albi yang tak tenang di gendongannya. Bayi ini sepertinya haus, dia harus memberi asi agar Albi tidak menangis kencang dan menarik perhatian orang sekitar.

“Bi, aku pergi dulu, ya. Albi kayaknya mau minum susu,” jelas Binar dan buru-buru berdiri dari duduknya. Sebelum jauh, dia kembali menoleh ke Abizar.

“Kamu kembali aja ke aula, Bi. Sebentar lagi kan pengumuman mahasiswa terbaik. Aku yakin kamu juga bakal disebut,” ucap Binar dengan suara lantang. Kemudian dia berjalan cepat meninggalkan Abizar.

“Pencapaian ini, seperti sia-sia saja. Tanpa mereka yang datang untuk memberi ucapan selamat kepadaku. Atau setidaknya memaafkan kesalahan di masa lalu, dan bangga memiliki anak seperti aku,” gumam Abizar pelan. Dengan langkah gontai, dia kembali ke aula. Di sana sudah ada Satya yang menunggu.

“Ke mana aja, Bi?”

“Ke taman belakang sebentar, Paman.”

Tiba-tiba suara sekitar hening. Bu Arni naik ke panggung dengan mikrofon dan juga piagam di tangannya. Dia mulai bersuara, mengucap salam dan pengenalan lainnya.

“Tidak usah basa-basi lagi. Saya akan mengumumkan nama mahasiswa terbaik dari Fakultas Management. Dan dia adalah ... Abizar Aditama. Silakan maju ke depan,” ucap Bu Arni sembari tersenyum lebar. Gemuruh tepuk tangan pun memenuhi aula. Abizar berdiri dan berjalan naik panggung yang sudah disiapkan. Lantas mencium punggung tangan Bu Arni sebagai penghormatan.

“Silakan jika ingin mengucapkan sesuatu, Bi. Selamat, ya,” ucap Bu Arni menyerahkan mikrofon kepada Abizar.

Pemuda itu mengedarkan pandangan ke seluruh aula sebelum mulai berbicara. Dan di pojok kanan agak tengah, dia melihat ayah dan ibunya duduk sembari menatapnya bangga. Tak bisa dicegah, Abizar meneteskan air mata melihatnya. Dia tersenyum bahagia. Tak menyangka orang tuanya ternyata hadir.

“Sebelumnya, terima kasih untuk Allah SWT yang sudah melimpahkan rahmat-Nya kepada saya hingga sampai saat ini. Yang kedua, terima kasih untuk Ayah dan Ibu yang sudah mau datang jauh-jauh ke sini.” Abizar menjeda kalimatnya. Dadanya berdetak tak keruan, menampung kebahagiaan yang membuncah. “Terima kasih juga untuk Paman Satya, teman-teman dan para dosen yang sudah membimbing saya sampai bisa seperti sekarang. Saya tidak tahu ingin mengucapkan apalagi. Intinya terima kasih banyak.”

Abizar menyerahkan kembali mikrofon ke arah Bu Arni. Lantas segera turun dari panggung untuk menemui ayah dan ibunya. Sampai di depan mereka, Abizar berlutut bahkan mencium kaki kedua orang tuanya. Dia sangat bahagia.

“Ayah, Ibu. Abizar seneng banget kalian datang. Abizar—”

“Stt, bangunlah, Nak. Peluk kami,” ucap Darma pelan sambil meneteskan air mata. Dia memeluk Abizar dengan erat, begitupun istrinya. Mereka saat ini menjadi pusat perhatian orang-orang. Mereka tak peduli. Inilah awal keluarga mereka kembali utuh seperti sebelumnya. Inilah awal untuk memperbaiki semuanya.

Abizar [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang