Semua sudah terjadi. Tidak usah terlalu menyesali. Ambil pelajaran dan buat pengalaman ke depan.
***
Kayla mengetukkan jarinya di atas meja dengan cepat. Menunggu memanglah hal yang dia benci dari dulu. Tapi, hal yang akan diketahuinya ke depan lebih besar. Jadi mau tak mau dia harus melakukan ini semua. Gamis panjang warna cokelat susu miliknya agak berkibar terkena angin. Dia memang memilih tempat di outdoor kafe, daripada di indoor.
Tak lama, seorang perempuan dengan perut yang sudah cukup besar datang. Perempuan itu tersenyum ke arah Kayla, menyapa.
“Halo, Kay. Udah lama ya nunggunya? Maaf, taksinya tadi ada masalah sedikit,” ucap perempuan muda yang sedang hamil tua itu dengan penuh rasa bersalah.
“Enggak apa-apa, Bin. Ngomong-ngomong, kamu hamil? Udah nikah, ya? Maaf banget, aku nggak bisa dateng.”
Binar tersenyum kaku. Dia tak tahu harus mengangguk atau menggeleng untuk menjawab pertanyaan Kayla.
“Jadi, maksud aku ngajak kamu ketemuan di sini. Buat ngomongin ini semua, Kay,” ucap Binar mulai menjelaskan. Perempuan itu mengambil posisi duduk yang nyaman terlebih dahulu, agar bayi di dalam perutnya tidak tersakiti.
“Mau ngomong apa? Eum, maaf aku cuma bisa sejam aja. Soalnya, aku izin sama Abah tadi cuma dikasih waktu segitu,” ucap Kayla tidak enak kepada Binar. Keadaannya sekarang sudah sangat berbeda. Karena Kayla sekarang sedang di pesantren, oleh karena itu jam keluarnya terbatas.
“Nggak apa-apa, kok, Kay. Aku udah seneng banget kamu mau ketemu. Jadi aku percepat aja, ya. Semoga kamu nggak kaget dengernya,” canda Binar dengan tawa kecilnya. Sebenarnya dia gugup. Tapi ini memang sudah terbaik.
“Aku berhenti kuliah, Kay. Aku tahu kamu di pesantren pun karena ketemu Abizar beberapa bulan yang lalu. Dan buat ketemu sama kamu, aku nyiapin mental selama beberapa bulan.” Binar menjeda kalimatnya. Menarik napas dengan pelan, lantas membuangnya kasar. Dia melakukan itu berulang-ulang.
“Terus, Bin?” tanya Kayla yang penasaran. Fokus gadis itu tertuju pada perut buncit Binar.
“Aku hamil. Dan aku belum menikah,” jelas Binar pada akhirnya. Itu membuat Kayla syok, gadis berhijab putih susu itu menutup mulutnya tak percaya. Binar, gadis cupu, polos dan baik yang pernah dikenal Kayla dulu bisa melakukan hal seperti ini? Sungguh tak terduga.
“Aku udah bilang dari awal, kan. Maaf buat kamu kaget dan mungkin kecewa sama aku. Atau kamu jijik sekarang sama aku, Kay?” Binar tertawa miris. Dia mengusap perutnya yang membuncit. Mencoba kuat demi sang anak.
“I-itu anak siapa, Bin?”
“Alfaden,” cicit Binar. Perempuan itu menunduk dalam saat mengatakannya. Fakta yang baru Kayla dengar kembali, membuatnya semakin tak percaya. Ini semua di luar logika.
“Kenapa bisa sama dia, Bin? Kamu tahu, dari dulu Alfaden itu bukan cowok baik. Tapi, tapi kenapa kamu sampe—”
“Aku nggak sengaja ngelakuinnya, Kay,” potong Binar cepat. Air mata sudah mengalir di kedua pipi gembilnya. Kayla yang melihat itu segera memeluk, mencoba menenangkan.
“Stttt, aku nggak bermaksud nyalahin kamu, Bin. Enggak. Aku cuma nggak nyangka aja semua jadi kayak begini. Udah, ya. Kamu jangan nangis lagi. Ceritakan semua dari awal. Oke?”
Binar mengangguk, lantas meraup udara sebanyak-banyaknya ke dalam paru-paru. Setelah isakannya berhenti, dia menatap Kayla dengan tatapan sedih yang sangat kentara.
“Waktu itu, temen Alfaden nelpon aku. Katanya Alfaden lagi mabuk di kelab, dan nggak bisa pulang kalau nggak dijemput. Saat itu, aku bimbang. Mau ke sana buat jemput apa nggak. Tapi setelah mikir lama, dengan semua yang udah Alfaden beri ke aku dan Bilar, aku nggak mungkin kalau nggak nolong dia. Akhirnya aku pergi ke kelab. Sampai di sana, Alfaden malah narik aku ke kamar atas yang ada di kelab tersebut. Dia nyebut nama kamu berulang, Kay. Dia ngira kamu yang dateng. Aku nggak bisa ngapa-ngapain. Berontak pun tenaga aku kalah sama dia. Dan akhirnya semya terjadi,” jelas Binar panjang lebar. Dia menyenderkan punggungnya ke kursi.
Kayla di depannya hanya bisa menatap prihatin. Alfaden memang brengsek dari dulu. Tidak berubah.
“Terus, Alfaden udah tahu? Dia nggak mau tanggung jawab?”
Binar menggeleng. Lantas kembali menunduk. “Aku langsung pergi pas bangun, Kay. Posisinya saat itu Alfaden masih belum sadar. Dan pas ketemu sama dia, aku pun nggak bisa jelasin. Sampai akhirnya dia pindah ke luar negeri buat lanjutin kuliah. Karena kamu juga udah nggak kuliah di sana katanya, percuma.”
“Brengsek banget dia, Bin. Astagfirullah,” umpat Kayla pelan, lantas dia sadar dan beristighfar.
Setelah itu, keadaan menjadi hening. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Mereka terlarut di pikiran masing-masing. Sampai seorang pelayan datang membawa buku menu di tangannya.
“Maaf, Mbak. Mau pesan sesuatu?”
Kayla yang pertama tersadar, lalu tersenyum tipis ke arah pelayan tersebut. “Pesan cokelat hangat satu, teh hangat satu dan nasi goreng seafood dua ya, Mbak,” pesannya.
“Baik, ada lagi, Mbak?”
“Cukup, Mbak. Makasih,” ucap Kayla dengan senyuman. Pelayan tersebut undur diri, nanti akan mengantarkan makanan lagi.
“Lalu, Abizar udah tahu belum, Bin?”
“Belum. Aku mohon sama kamu juga nggak bilang sama dia nanti, kalau kalian ketemu. Aku yang bakal jelasin semuanya sendiri, Kay. Iya, di waktu yang aku rasa tepat. Dan aku udah siap dengan semuanya. Karena aku nggak mau buat orang yang aku sayang kecewa,” ucap Binar pelan. Membuat Kayla yang mendengarnya kembali tertegun.
Jadi, Binar mencintai Abizar? Entah kenapa hatinya terasa sakit saat mendengar. Harusnya Kayla sadar sejak dulu. Rasa cinta Binar pun sangat terlihat sejak mereka masuk kuliah, kan.
“Terus Alfaden? Sampai kapan kamu akan menyembunyikan kebenaran ini, Bin? Bagaimana pun, dia ayahnya. Dia berhak tahu, Bin. Anak kamu nantinya pasti juga bakal tanya, di mana ayahnya, kan? Kamu nggak boleh egois,” nasihat Kayla kepada Binar. Membuat perempuan muda itu tersenyum tipis.
“Masih lama juga kan, Kay, dia bakal tanya soal ayahnya?”
“Iya, tapi kan—”
“Maaf, Mbak, ini pesanannya.”
“Oh iya, Mbak. Makasih banyak, ya. Ayo, Kay, makan dulu. Kamu juga harus segera balik ke pesantren, kan.” Kalimat Binar seolah-olah menunjukkan dia tak ingin membahas soal Alfaden lebih lanjut. Kayla hanya diam, mengerti. Lalu keduanya makan dalam keheningan. Hanya suara musik piano kafe yang menjadi pengiringnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abizar [TAMAT]
Teen FictionAbizar, seorang pemuda yang memiliki masa lalu gelap, sehingga membuat kedua orang tuanya kehilangan kepercayaan. Pemuda tersebut berusaha mengembalikan kepercayaan kedua orang tuanya dengan cara berhasil dalam kuliahnya dan sukses. Namun, di tengah...