BLACK STAGE

257 51 18
                                    

BLACK : THE PRESSURE

BLACK : THE PRESSURE

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tekanan.

Sejujurnya sejak awal kau menulis tanpa tekanan. Kau menulis dengan bebas. Kau menulis dalam santai. Menulis sudah jadi hobimu.

Tapi, seiring berjalannya waktu, tanpa kita sendiri sadari, kita mulai memporsir diri terlalu keras, kita mulai menjadi terlalu berambisius. Sudah kelewatan saat kau jadi mengabaikan keselamatanmu sendiri.

Lho, memangnya menulis itu bisa mengancam nyawa? Bukan, bukan. Bukan mengancam nyawa yang berakhir penuh darah. Darah yang dirasakan seorang penulis adalah darah dalam umpama berbeda. Menulis di bawah tekanan bisa membuat beberapa penulis memaksakan diri terlalu keras, tanpa ampun, sampai mengorbankan beberapa hal pokok yang kehidupan butuhkan.

Hm, agar lebih mudah dipahami, bagaimana kalau kita mulai dengan pengalamanku saja?

Dahulu, aku bukanlah penulis dengan nama besar, punya pembaca setia pun tidak. Ah, bukan. Sebenarnya aku punya. Tapi kolom komentar dan bintang apresiasi yang disediakan aplikasi Wattpoo kala itu selalu kosong. Perih rasanya ketika aku melihat jumlah dua di kolom reads, dan dua lainnya nol. Itu sebab mengapa aku begitu bersemangat saat mendapat satu buah komentar pertama. Pembacaku masih terlalu pasif—bahkan komentarnya masih hanya satu username meski reads-nya sudah mencapai puluhan. Komentar bertambah secara bertahap seiring aku memperbarui ceritaku makin sering, aku mulai menjadi penulis yang cukup sombong untuk menetapkan target-target.

Target seperti apa?

Dalam minggu ini aku harus menyelesaikan judul ini, dalam bulan ini jumlah reads harus sampai sekian, dalam dua bulan aku akan merilis dua judul cerita baru, aku akan buat banyak series, dan banyak lagi. Aku makin seperti kecanduan. Menghabiskan terlalu banyak waktu di depan laptop dan bahkan menyita waktu tidurku paling lama selama satu minggu. Menghasilkan sebuah mahakarya mata panda yang terlalu estetik di wajah sini. Membuat produktivitas malah kian menurun dan psikisku terganggu.

Bagaimana bisa jadi sedemikian parah? Wow, ini jelas masuk akal. Maksudku, bayangkan itu—saat kau harus memaksakan otakmu memproses kisah baru dengan terlalu keras (dalam kasusku untuk konflik cerita yang berbelit) itu bisa membuat kewarasan terganggu. Lain cerita kalau si penulis tetap mencoba terorgarnisir dengan mengabaikan konsep ceritanya sampai berlumut (seperti Yang Mulia Cath). Aku? Ada sekitar 500 konsep cerita, 450 telah publish, dan 100 yang aku jalankan serentak.

Ahhh, tidak heran Mama bersikeras membawaku kepada psikiater saat awal aku memasuki SMP. Berbicara saja aku mengawur, berbicara sendiri sudah jadi kebiasaan, dan bayang-bayang mengenai scene ceritaku selalu menggentayangi bunga tidurku.

Jangan tanyakan akan jadi separah apa selanjutnya. Kau tahu, aku pasti telah benar-benar di bawah tekanan saat tak mau menyia-nyiakan waktu sesekon pun. Saat laptopku mati aku menggunakan ponselku untuk mengetik cerita, saat tak ada kuota untuk mem-publish aku memendamnya dulu dalam file ms. Word. Saat aku tak punya ponsel aku menulis di buku. Saat aku tak punya pena aku pakai pensil. Saat tak ada buku atau kertas di sekitarku, aku mencoret dinding kamar dan kaca jendela. Saat aku buang air besar aku bawa pensil warna dan mencoreti tangan dengan out-line cerita. Saat aku tak punya media apapun buat mencatat lagi, aku berusaha keras menghapalnya habis dengan otakku.

Itu aku. Aku harap tak banyak yang sama.

Gila? Aku sadar itu.

Dari sini lah, sesekali aku bisa merenung juga...

Punya target itu tidak salah; "Aku ingin punya 1k reads bulan ini. Aku ingin ada 20 pengomentar kali ini. Aku ingin satu judul tamat bulan ini." Tapi kita harus tahu menempatkan diri. Menyadari kemampuan dan banyak memperbaiki diri.

Jangan terlalu tinggi dan depresi jika tidak kesampaian. Seperti aku yang jadi berusaha mati-matian dan menggila sendiri. Itulah yang disebut "Menulis di bawah tekanan", tidak ada bagusnya, sebagian besar penulis malah menyiksa diri mereka.

Hal sepele seperti melewatkan jam makan dan tidur pun akan membuatmu punya kebiasaan buruk.

Ah, satu lagi.

Bahkan ketika targetmu tercapai dan namamu kian dikenal lebih luas, di sana malah tantangannya lebih besar. Pernah mendengar pepatah; semakin tinggi kita memuncak, maka semakin deraslah badai menerjang? Agaknya itu memang benar adanya saat kita mengaplikasikan pada aspek kehidupan seperti menjadi penulis.

Jadi, daripada terus memasang lebih banyak target, akan lebih baik jika kita mencoba lebih banyak cara untuk menulis lebih nyaman, lepas dan bebas. Sehingga mutu dan kualitas karya itu sendiri tetap dapat tersampaikan dengan baik.

"Author, perbarui cerita ini lagi, ya. Kalau bisa sekali memperbarui, dua tiga bab sekaligus."

Oke, kita menghargainya. Itu artinya banyak orang menanti dan menyukai karya kita dengan tulus. Kita memenuhinya. Kita bahagia setelahnya.

Namun, tidakkah orang lebih memerhatikan akan pentingnya ucapan semangat yang suportif ketimbang tuntutan yang cenderung memaksa?

Bahkan kita sendiri tidak menyadarinya; bahwa manusia bisa saja mengalami euforia dan keterpurukan dalam satu waktu, secara bersamaan. Jangan biarkan dirimu termakan egomu sendiri.

"Author, semangat, ya. Aku akan menanti karyamu terus!"

Beberapa penulis cukup beruntung untuk memilki pembaca demikian. Rendah hati lah selalu. Karena kau tak akan pernah mendapatkan suatu posisi tertentu tanpa orang-orang ini. Orang-orang yang bertumbuh bersamamu dari bawah. Jangan lupakan itu. Teruslah menjadi penulis yang mengayomi dan bersahabat. Hanya itu yang bisa yang kau lakukan jika ingin mendapat energi positif dalam apa yang tengah kau usahakan.

Just keep going. Pass your black step, and let's continue to the next stage!!!

[✓] VALDA THE AUTHORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang