RED STAGE

163 49 16
                                    

RED : THE DANGEROUS OF HATRED

"Ya playa haters you should love yourself! Prrr!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ya playa haters you should love yourself! Prrr!"

Ah, siapa sih yang tidak punya pembenci? Bahkan orang suci sekalipun pasti ada yang membenci jika terdapat perbedaan pola pikir. Bahkan orang paling baik sekalipun pasti ada yang tidak suka, malah muak dengan semua kebaikan yang ditunjukan. Bahkan deretan orang tampan seperti para Mogan pun, pasti ada yang benci atau mungkin menghina, karena beberapa pihak iri (?), cemburu (?) I don't know. Tetap. Semua orang tidak bisa mau enaknya saja hanya memiliki orang yang menyukai, tanpa ada yang mengkritik pedas—berusaha menjatuhkan, menyulut murka dan menjadikan kalah.

Itu sama seperti ketika kita menulis. Kamu harus selalu tahu bahwa tidak semua orang menyukai dengan gaya penulisanmu, genre yang menjadi dasar khas ceritamu, plot yang telah kamu susun dengan susah, ataupun teori-teori yang kamu runtut secara apik dalam kisahmu. Banyak yang suka. Banyak juga yang tidak. Jangan jadi lembek untuk langsung jatuh hanya karena kritikan tajam beberapa oknum. Jika beruntung, sebagian penulis malah menjadikan kritikan itu jadi bahan cerminan untuk memperbaiki diri.

Seperti contoh satu; "Ah, kau sebut dirimu penulis? Menggunakan tanda baca dan kaidah menulis saja kau tidak becus."

Dengan itu, kamu pasti berusaha lebih keras untuk belajar dan memahami lebih dalam dengan segala kaidah yang mereka bicarakan. Mungkin mereka terganggu dengan penulisanmu yang berantakan. Mungkin mereka terganggu dengan rangkaian kata mu yang kelewat tinggi. Mungkin mereka terganggu dengan beberapa adegan yang dibawakan, dan masih banyak lagi. Sekali lagi. Banyak yang suka. Banyak juga yang tidak.

Lain halnya jika sudah "menghina".

"Kau sebut ini sebuah karya? Bagiku ini lebih cocok disebut sampah! Berhenti saja kau dari menulis, dasar payah!"

Jangan tanya. Untuk yang itu aku juga sudah berpengalaman (tertawa dengan estetik). Sebagai penulis fantasi yang sudah mencoba berbagai konsep dan latar, aku pasti sudah cukup kebal untuk menghadapi komentar semacam itu. Bahkan rasanya aku mau jadi repot untuk membalas, "Memangnya ini masalah siapa? Kalau tidak suka ya pergi saja! Kalau terganggu ya tinggalkan saja! Aku tidak butuh pembaca tidak beretika sepertimu, dasar pecundang!" Oke, oke. Itu agak berlebihan, terlalu kasar. Itu sebab mengapa aku tidak mau repot melakukannya, aku masih seorang berbudi pekerti. Kendati membalas demikian dengan penuh emosi, aku telah terbiasan menelannya bulat-bulat. Menumpuk tinggi dalam dada. Ternyata membuat sesak juga.

Tinggal bagaimana cara kita menguasai diri agar tak kalah dengan cibiran hinaan itu.

Kalian tanya bagaimana caraku meredamnya? Ah, simple enough! Paling aku malah menenggelamkan diri dengan menulis lebih jauh, lupa akan dunia, aku serasa jadi menusia semi realita yang gaib. Oke, itu seram. Jangan tiru yang satu ini. Gunakan lah caramu sendiri yang mungkin lebih positif dariku. Jangan pelit untuk membagikannya padaku dengan menuliskan pada kolom komen di sini.

Itulah mengapa tahap ini aku berikan warna merah: lambang keberanian, namun juga bisa berartikan suatu bahaya. Bahaya yang bisa menyerang luar dalam (eksternal dan mental kita sendiri), tapi harus kita hadapi dengan gagah berani—jika kamu ingin maju.

Inilah yang sempat aku singgung dalam kisahku "Can't We Just Leave The Monster Alive?"setiap manusia punya sisi monsternya, bukan?—hadapi itu, jika kamu ingin maju.

[✓] VALDA THE AUTHORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang