Bayangan diriku berkulit pucat, dikelilingi peralatan medis, terbujur kaku tak bernyawa di atas ranjang rumah sakit, menguasai kepalaku ketika aku berjalan cepat menyeberang jalan. Lalu lintas saat ini amat padat, tapi entah bagaimana aku berhasil melewati kendaraan demi kendaraan yang terus melaju dan tidak bisa melihat ada hantu perempuan melintas di depan mereka. Aku hanya melangkahkan kaki, tatapan tertuju pada bangunan di seberang, dan sosok Harris di lantai bawah meracuni pikiranku. Tiba-tiba saja aku sudah sampai di depan Arcent Southside Highschool.
Gerbang sekolah terbuka, sebuah mobil katering pergi menjauh. Jam makan siang baru saja berakhir, orang-orang mulai bersiap kembali ke habitatnya. Sebelum para guru keluar dari kantor mereka dengan membawa selembar laptop atau buku, aku tergesa-gesa mencari ruang kelas.
Sekolah swasta ini jauh dari perkiraanku. Luasnya tak seberapa, namun terlihat elegan karena arsiteknya yang pandai. Bentuk gedung dibuat melingkar seperti stadion olahraga, lapangan basket sebagai pusatnya. Bagian depan merupakan satu-satunya bangunan dengan tinggi 45 kaki, dikhususkan sebagai ruang kepala sekolah, waka kesiswaan, kantor guru, tata usaha, serta sejenisnya. Sisanya berupa ruang kelas yang berjejer memutar sebanyak dua lantai. Jarak antara ruang kelas dan lapangan basket diisi taman kecil-kecilan. Tempat duduk memanjang, menghadap ke arah lapangan, dikawal pohon pucuk merah―tampak terjangkau panas matahari.
Para murid masih berkeliaran di koridor, mengobrol santai dan saling berteriak seraya melambaikan tangan. Aku bergegas menuju blok kelas tiga, memerhatikan setiap wajah yang berlalu. Setiap jenjang kelas mempunyai 15 rombel, aku tidak yakin untuk memeriksanya satu per satu. Akan memakan waktu yang sangat lama. Di samping itu, keadaan ini sedang dalam kategori darurat. Jadi, aku melongok ke dalam lima kelas pertama tapi tak menemukan sosok orang yang kucari-cari.
Bel tanda masuk berbunyi. Semua orang lenyap dari pandangan, berbondong-bondong memasuki kelas. Mestinya lebih mudah menilik ke dalam ruangan satu per satu yang sudah dipenuhi para pelajar dan guru sekarang. Akan tetapi aku justru berjalan lesu ke arah taman―kelelahan. Bukan karena terburu-buru, namun sebab keberuntungan saat ini belum juga berpihak kepadaku.
Tak satu pun orang menetap di taman, bukan tempat yang cocok untuk membolos. Namun segerombol anak yang memiliki jadwal kelas olahraga di siang bolong memasuki lapangan, mengikuti pelatih menuju ring basket sebelah selatan. Sungguh tidak mujur menguras energi di bawah terik sang surya.
Aku memicingkan mata, mengamati sejumlah lelaki. Barangkali dia ada di sana. Benar saja, rambut hitamnya yang mencolok langsung menarik perhatianku. Aku menyeret kaki, menghampirinya. Ia sudah menyadari kehadiranku dari jarak jauh, dan aku kembali kesulitan membaca sorot matanya. Tidak penting.
Kulangkahkan kaki penuh percaya diri, mempersempit jarak di antara kami. Kini aku bisa melihat wajah Serro―berusaha menyembunyikan keterkejutannya atas kedatanganku. Mulutnya hampir melongo, lalu mengatup rapat. Aku bangga dapat mewujudkan ekspresi semacam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
After I Die
Mistero / Thriller[MYSTERY; THRILLER • END] Suatu pagi di akhir musim dingin, Avaline Ives tewas dalam sebuah kecelakaan. Itu terjadi tepat setelah dirinya mengundurkan diri dari komunitas liar para detektif. Para penyidik menduga kecelakaannya disengaja, akan tetapi...