Surprise!

1.3K 35 6
                                    

Happy reading!!!

**✿❀ ❀✿**

Terhitung sudah tiga bulan lamanya aku meninggalkan kota tempatku tinggal. Jadwal kerjaku yang padat membuatku harus bolak-balik ke luar kota. Sejujurnya aku cukup khawatir meninggalkan adikku seorang diri, terutama dengan kesibukan barunya.

Adikku yang keras kepala itu tetap berdiri pada pendiriannya untuk membiayai kebutuhan pribadinya dengan keringatnya sendri, walaupun berulang kali telah ku katakan bahwa aku pasti bisa memenuhi segala kebutuhannya.

Katakanlah bahwa aku adalah tipikal kakak yang protektif, cenderung posesif. Aku masih terlalu takut untuk melepasnya, takut jika hati murninya tersakiti oleh kejamnya dunia. Di usianya yang telah menginjak angka dua puluh, merupakan hal yang wajar jika dia mengatakan akan mulai mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan mencoba untuk berdiri di kakinya sendiri.

Hal itu justru membuatku semakin takut. Aku takut ketika adik kesayanganku itu mulai berdiri di kakinya sendiri, maka dengan perlahan dia akan lepas dariku. Aku takut jika suatu saat dia justru lebih bergantung pada orang lain, terutama lawan jenisnya.

Aku menghela napas, membuang rasa paranoid yang terus menggrogoti hatiku. Ku tatap awan di langit, menyemangati diri dengan fakta bahwa hari ini adalah hari yang paling ku nanti.

Penantian yang ku tunggu setelah tiga bulan lamanya akhirnya datang. Aku bisa kembali ke kota tempatku tinggal dan menemui gadis kecilku. Aku tersenyum membayangkan ekspresi terkejutnya ketika melihat diriku telah berada di depan pintu apartemen kami.

Belakangan ini aku memang sengaja tidak menghubunginya. Aku ingin dia merasa terkejut dengan kedatanganku dan beberapa cemilan kesukaannya yang telah memenuhi bagasi mobilku.

Setelah selesai membeli aneka cemilan untuk oleh-oleh adikku, aku mengendarai mobil dengan terus bersenandung riang. Aku benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengan adik kesayanganku itu. Melihat senyum manis yang merupakan candu bagiku dan mengusap surainya yang sehalus sutra membuat hatiku kian berbunga sampai tak sadar jika sebentar lagi aku akan sampai.

Aku berjalan susah payah dengan paper bag yang memenuhi kedua tanganku, tentu saja setelah memarkirkan mobil. Katakan bahwa aku mungkin berlebihan dengan membeli dua puluh cemilan favoritnya dengan varian rasa yang berbeda di masing-masing produk yang ku beli, tapi menurutku tidak ada kata berlebihan jika itu menyangkut gadis kecil kesayanganku.

Aku akhirnya sampai di depan pintu apartemenku kemudian menekan digit demi digit passwod apartemenku. Ku dorong pintu di hadapanku menggunakan bahu kananku kemudian menutupnya dengan kaki kiriku.

Ku letakkan barang-barang yang memenuhi kedua tanganku di samping kakiku. Melepas alas kakiku sebelum berjalan memasuki ruang tamu. "Kakak, pulang."

Hening. Bukan adikku yang menyambut kedatanganku melainkan keheningan yang entah bagaimana terasa janggal untukku.

"Kim!" aku berjalan mengelilingi apartemenku seraya terus memanggilnya.

Aku berjalan ke lantai atas menuju kamar adikku kemudian mengetuk pintu bercat putih itu. "Hei, Kim!" Aku kembali mengetuk pintu di hadapanku ketika suara gemerasak terdengar dari dalam.

Ku tempelkan telingaku pada daun pintu, berharap dapat mendengar dengan jelas suara dari dalam kamar adikku. Aku kembali mengetuk pintu di hadapanku. "Aku tahu kau di dalam Kim!" ucapku dengan suara yang lebih keras.

"Hei! Kau tidur?" Panggilanku yang kesekian kali tidak juga bersambut.

Dengan kesal ku acak rambutku dan membuang napas dengan kasar sebelum meraih knop pintu dan mendorongnya. Cukup terkejut ketika mendapati pintu kamar adikku yang tak terkunci.

Aku mendorong pintu itu dengan gelisah. Berharap bahwa adikku hanya sedang lupa mengunci kamarnya dan menjauhkan pikiran negatif yang mulai menyerang otakku.

Pemandangan yang ada di hadapanku kali ini membuat mataku seolah ingin keluar dari tempatnya. Kulihat adikku mengenakan pakaian bernuansa pink dan aksesoris rambut dengan warna senada. Dia memunggungiku dengan tangan yang terus bergerak heboh dengan benda yang berada di dalam genggamannya.

Aku berjalan mendekatinya dan kembali tercengang ketika melihat penampilan adikku yang jauh dari kata wajar.

Kimbely Irisha McKenzie, si bungsu keluarga McKenzie, adikku yang terkenal berkepribadian pendiam cenderung dingin itu mengenakan baju pink yang bukanlah warna favoritnya! Di tambah dengan dua buah boneka beruang yang berada dalam gengamannya. Oh, dan apa itu? sebuah dot bayi? Aku mengerjapkan mataku berualang kali berharap bahwa pemandangan yang ada di hadapanku adalah ilusi.

Aku menjatuhkan rahangku mengetahui bahwa pemandangan yang ada di hadapanku saat ini adalah nyata. Adikku masih sibuk bermain dengan bonekanya tanpa menyadari kehadiranku.

Benakku mulai meliar mencoba mencari alasan yang tepat melihat tingkah aneh adikku. Apa kepalanya baru saja terbentur sesuatu? Atau dia sedang kerasukan? Aku mengacak rambutku dengan frustasi karena dugaanku yang konyol. Sampai akhirnya ku putuskan untuk memanggilnya dan bertanya secara baik-baik mengapa dia bertingkah seperti ini. Ya, itu adalah hal yang tepat menurutku.

"Kim?" aku memanggilnya dengan ragu.

Dia menatapku dengan binar mata yang terlihat sangat polos, pandangan mata yang tak pernah ku temui di mata adikku sebelumnya. Raut wajahnya seketika berubah masam. Dot bayi yang berada di mulutnya seketika terlepas dan tangis yang memekakkan telinga seketika memenuhi kamar.

Oh, Tuhan! Sekarang apa lagi?
Adikku berdiri kemudian menenggelamkan kepalanya di balik bantal seraya menutupi seluruh tubuhnya dibalik selimut tebal. Dia memunggungiku dan terus menangis sesegukkan.

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. Bingung harus bereaksi seperti apa dalam situasi seperti ini. Adikku itu tak pernah menunjukkan air matanya padaku, dia selalu menunjukkan sikapnya yang tangguh, bahkan ketika kucing kesayangannya mati tertabrak mobil.

Ku gigit bibirku, mencoba menetralisir perasaan gugup yang terus menyergapku tanpa henti. Ku hembuskan napasku perlahan sebelum berjalan kearahnya. Ku dudukan diriku di tepi ranjangnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Untuk kali ini, sepertinya aku harus menggunakan naluriku yang bekerja. Ku ulurkan tangaku dan menepuk-nepuk gundukan yang ada dihadapanku untuk beberapa saat sampai ku lihat gundukkan itu telihat bergerak semakin teratur.

Dengan keberanian yang entah muncul dari mana, ku tarik selimut yang menutupi adikku. Menarik selimut itu sebatas pundak dan berhadapan langsung dengan wajahnya. Mata sembab itu tertutup sempura. Sepertinya dia kelelahan pasca menangis, maka aku berniat meninggalkannya. Memberinya waktu untuk istirahat.

Aku mendekatinya dan membungkuk untuk memperbaiki letak selimutnya, mengecup kening adikku sebelum benar-benar meninggalkannya.

Aku berjalan gontai keluar dari kamar adikku kemudian menuruni tangga, berniat untuk merapihkan barang bawaanku yang berada di dalam koper. Namun rasa penat seketika membuat niat itu menguap entah kemana.

Aku berjalan menuju ruang tamu dan menjatuhkan diriku di atas sofa. Mengusap wajahku dengan kasar dan menutup mataku dengan salah satu tangan. Aku benar-benar lelah. Tidak, sebenarnya aku masih memiliki cukup tenaga untuk kembali ke kamarku di lantai atas kemudian menyusun barang bawaanku di tempatnya, namun keterkejutan yang baru saja ku alami membuat pikiran dan tubuhku seketika lelah.

Hingga akhirnya ku putuskan untuk mengistirahatkan tubuh di atas sofa. Menyamankan posisi kemudian menunggu alam mimpi merenggut kesadaranku.





Gimana menurut kalian cerita Alice kali ini?
Vote dan Comment positif dari kalian sangat mendukung Alice untuk up part selanjutnya.
Thank you(๑•ᴗ•๑)♡

20/09/20(09:00WIB)

My BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang