♡♡♡
Bahagia itu sederhana, kamu yang membuatnya rumit. Kamu bisa mulai dari yang sederhana. Coba untuk menerima kenyataan dan tersenyum.
♡♡♡
Setelah pembicaraan itu dengan Kaisar Haidar, Sabian selalu teringat bahkan saat bermain Polo. Olahraga kesukaannya. Sabian menuju lapangan tempat ia biasa bermain Polo. Duduk disalah satu kursi menunggu kuda kesayangannya siap."Baru datang?" Tanya salah satu laki laki yang menjadi temannya bermain Polo.
Sabian mengangguk, "Mau ikut? Tanding?"
Laki laki itu mengangguk mengiyakan ajakan Sabian. Mereka sering sekali bertanding untuk bermain Polo.
Sabian sedang mengamati permainan yang sedang berlangsung diarena ketika seseorang menepuk pundaknya. Sabian berbalik menemukan gadis berambut panjang sedang tersenyum padanya.
"Bella, kapan kau kembali?" Tanya Sabian sedikit kaget.
Perempuan didepannya adalah Isabella yang mungkin akan ia kecewakan hatinya. Perempuan yang menjadi teman bermainnya. Perempuan yang senyumnya dulu selalu ia jaga.
Tapi mulai sekarang, Bella bukan lagi menjadi teman untuk hidupnya. Bukan lagi yang harus ia jaga hatinya. Dan bukan lagi senyumnya yang harus ia lindungi agar tidak hilang.
Sabian merasa nyaman dengan Bella. Tentu saja, mereka berteman sejak kecil bahkan ketika ia kuliah di London. Dia yang bersedia untuk mendengar keluh kesahnya. Sabian tidak tau betapa kecewanya dia nanti.
"Hay, Sabian." Bella melambaikan tangannya di depan Sabian membuat Sabian tersadar.
"Eh, iya ada apa?" Tanya Sabian salah tingkah.
Bella terkekeh pelan, "Banyak kerjaan ya? Sampe aku cerita gak didengerin."
"Maaf aku banyak pikiran. Kalau gitu aku main dulu."
Sabian langsung meninggalkan Bella yang masih berdiri di tempatnya. Mulai sekarang Sabian akan menjaga jarak dengan Bella. Ia akan membiarkan Bella untuk menemukan orang yang pantas untuknya.
♡♡♡
Dira membolak balikkan buku yang berjumlah kurang lebih seratus dua puluh halaman. Ia merasa bosan dan memilih untuk membaca buku di ruang perpustakaan. Seminggu terakhir ia hanya berdiam didalam perpustakaan sambil membaca buku buku yang dianggapnya menarik.
Seminggu ini Sabian juga tidak memberinya kabar sama sekali. Dira ingin sekali menelpon Sabian, namun ia takut jika teleponnya akan mengganggu pekerjaan Sabian. Ia sudah cukup sadar diri bila dinikahi untuk menyelamatkan aibnya dan juga anaknya.
Dengan malas Dira bangkit dari duduknya keluar dari ruang perpustakaan. Ia berjalan menuju dapur untuk mencari bibi Ana. Selain bibi Ana ada juga Nina yang bekerja disini.
Umur Nina baru dua puluh dua tahun. Sekarang ia masih kuliah untuk S1. Sebenarnya Nina menunda kuliah satu tahun dan Dira mempercepat satu tahun. Tapi hari ini Nina ada kuliah siang yang berarti hanya ada bibi Ana dirumah.
"Bibi Ana, kau dimana?" Dira berjalan ke dapur dengan langkah santai.
Dilihatnya bibi Ana sedang memasak sesuatu dengan panci dan wajan besar. "Bibi sedang apa?"
Dira mendekati bibi Ana dan duduk di kursi bar. Setelah Sabian pergi, seluruh penghuni rumah ini melarang Dira untuk melakukan pekerjaan berat. Alhasih Dira hanya bisa duduk menonton.
"Non Dira, bibi lagi masak ayam panggang. Non Dira mau?" Seketika mata Dira langsung berbinar penuh kebahagiaan.
Semenjak ia hamil, Dira menyadari kalo ia sering sekali lapar dan nafsu makannya bertambah banyak. Bahkan dua jam setelah makan ia bisa makan lagi. Dira menganggukkan kepala dengan semangat melihat ayam panggang yang keluar dari oven.
Bibi Ana menyiapkan sepiring untuk Dira makan. "Ini untuk non Dira."
"Makasih bibi Ana." Dira meniup ayam panggang yang masih mengeluarkan kepulan asap.
"Bibi, kapan bibi akan belanja kebutuhan makanan?"
"Besok, ada apa? Non mau bibi belikan sesuatu?"
Dira menggeleng dengan cepat. Mulutnya yang penuh ayam ia paksa untuk menelan secara perlahan. "Dira mau ikut, bolehkan bi?"
Bibi Ana terdiam sebentar, ia merasa bingung untuk menolak atau mengiyakan. "Aku bosen dirumah, bi. Lagian babynya juga perlu udara segar."
Dira memasang wajah sedih tanpa disadari dirinya membuat bibi Ana tidak tega. Selama ia bekerja di rumah ini, ia sudah sangat menyayangi Dira seperti anaknya sendiri.
"Iyadeh non Dira boleh ikut."
Dira langsung tersenyum senang mendapati jawaban iya dari bibi Ana. Rasanya tak sabar untuk menunggu hari esok ketika ia bisa menghirup udara segar. Ia sudah rindu dengan dunia luar.
"Ada apa nih, kok kelihatan seneng banget?" Dira menoleh dan menemukan Nina yang berjalan menghampiri mereka.
"Besok kita akan belanja bersama."
Nina tersenyum lebut pada Dira. Bagi Nina, Dira seperti adiknya yang berharga meski mereka hanya terpaut satu tahun. Nina tau bagaimana bosannya Dira didalam rumah ini.
"Kalau gitu bagaimana kalau kita pergi bersama sama?" Tawar Nina.
Dira mengangguk dengan semangat, "Ayo, makin rame makin seru."
Nina duduk disamping Dira yang masih melahap ayam panggangnya. Nina menaruh tasnya di meja dan mengeluarkan buku kuliahnya untuk dipelajari ulang. Ia masih cukup beruntung mendapatkan beasiswa dan ia tak akan menyianyiakan. Untuk orang kaya tak ada masalah untuk biaya kuliah tapi untuknya itu sangat berharga.
"Bibi Ana ceritakan tentang kampung bibi tinggal."
Bibi Ana duduk di depan Dira yang telah selesai makan. Dira memang sering mengajak bibi Ana untuk bercerita menghilangkan rasa bosan.
"Sebenarnya kampung bibi dibesarkan tidak ada yang spesial. Sama seperti kampung kampung lainnya."
Dira cemberut, "Emang gak ada yang bisa diceritain ya? Dira kan pengen denger."
"Gak ada non, kampung bibi gak ada yang spesial. Penduduknya masih banyak yang bertani, berternak, menambak. Disana untuk kekota juga butuh waktu dua jam perjalanan dan jalannya belum diaspal semua."
Dira menyimak semua cerita yang dikatakan bibi Ana dengan antusias. Dira belum pernah pergi ke desa. Ia biasa hanya lihat di sinetro tv.
♡♡♡
KAMU SEDANG MEMBACA
P R I N C E ( S S ) | SELESAI
FanfictionDalam hidup cobaan tak pernah dapat untuk dimengerti. Dalam cinta semuanya menjadi tidak masuk di akal. Dalam takdir kamu tak akan pernah tau bagaimana jalan hidupmu akan datang. Semuanya tentang ketidakpastian yang nyata. Seoarang Pangeran dari neg...