Chapter 3: Into the Darkness

12.2K 1K 22
                                    

AN: Hey, anway thanks banget buat kalian yang sempet2in komen dan entah gimana nyemangatin gue banget. Kalian gak tau seberapa berarti review dan masukan kalian I really love it thanks! Anyway enjoy this chapter :3

Dedicated for all of you who read this story

#kissformHanabi haha 

*****************************

I lost my mind

The way I suppose to run

When I realize

I’ve damped into the dark

.

.

.

Tidak seperti dugaan awalku, ketika kami sampai di ‘tempat tujuan’, kami disambut dengan cukup hangat oleh seorang wanita berusia setengah baya yang memakai bedak putih tebal dan riasan kepala berlebihan dan dibawa ke suatu rumah tua besar. Terlihat seperti tempat penginapan bagiku, namun aku belum bisa memastikannya.

Aku melihat sekelilingku dengan cepat.

Tidak ada tanda-tanda adanya ‘calon pembeli’ seperti yang sempat kuduga, dan tidak ada tanda-tanda bahaya sama sekali.

Setidaknya belum.

Kami diperintahkan untuk berbaris rapi, dan instingku mengatakan untuk tidak menarik perhatian dan memilih untuk menunduk.

Sedalam-dalamnya.

Dan sepertinya Ayumi juga dapat membaca situasi ini karena ia melakukan hal yang sama.

“Kalian yakin mereka yang terbaik?”

Aku menajamkan telingaku untuk menangkap suara manis berbahaya yang berbisik pada para pengawal kami. Mendelik dengan sudut mataku, sesuai dugaan itu adalah suara si wanita paruh baya.

Dan butuh 5 detik bagiku untuk mengambil kesimpulan situasi macam apa yang sedang kuhadapi.

“Rumah pelacur..”

Aku dapat mendengar bisikan Ayumi yang berbaris tepat di depanku. Aku tersenyum pahit pada diriku sendiri.

Coba pikirkan sisi baiknya, setidaknya ini bukan pasar perdagangan budak menjijikan yang akan menepis seluruh harga diriku.

“Kau pikir wanita tua itu akan memperlakukan kita dengan baik?” Ayumi kembali berbisik padaku yang membuatku refleks menoleh pada wanita tua itu lagi. Mendapatinya sedang memberikan kantung merah yang kuyakini berisi kepingan emas pada para pengawal kami.

“Kemungkinan besar iya. Tidak ada pedagang yang merusak barang dagangannya ‘kan?” ucapku setengah mendesis sarkasme yang membuat Ayumi mendengus kecil.

Dan ucapanku memang benar.

Karena wanita paruh baya yang mengenalkan diri sebagai Nona Jun itu lalu berdiri di hadapan barisan kami dan tersenyum ramah pada kami—membuat helaan nafas lega terdengar jelas dari beberapa diantara gadis-gadis lugu ini.

“Kalian pasti lelah. Masuklah ke dalam. Pelayanku akan mengantarkan kalian ke kamar masing-masing. Lalu kalian mandilah, dan kenakan pakaian yang telah disediakan. Saat matahari terbenam kalian akan berkumpul di ruang tengah untuk minum teh bersamaku.”

Tidak ada yang membantah ucapannya secara kompak kami masuk ke dalam pintu yang kini terbuka lebar di hadapan kami satu per satu dan mendapati tatapan Nona Jun mengekori kami dari belakang, memperhatikan kami seperti guci antik yang sangat rentan pecah.

HANABITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang