4

23 2 0
                                    

"gue pernah berada di posisi lo yang sekarang."

Sepertinya langit ingin cerita panjang. Buru-buru nara pasang perhatian penuh berusaha jadi pendengar yang baik.

"spend waktu gue malah sampai dua tahun. di saat teman-teman gue udah nginjak semester empat, gue masih sibuk berusaha buat kuliah di jurusan dan universitas yang gue mau."

Dalam hati nara bergumam, langit adalah nara di tubuh yang berbeda.

"gue anaknya keras kepala. Pokoknya apa yang gue mau harus gue dapat. bisa dibilang dulu impian gue tuh tinggi banget. gue anak smk yang pengen kuliah hukum di UTI" langit menoleh kearah nara untuk memastikan reaksi apa yang akan ditunjukkan di wajah cantik itu.

Langit terkejut. Ia kira nara akan menampilkan pandangan: yaiyalah anak smk kuliah hukum di UTI. Mana bisa?! Seperti teman-temannya yang lain. Tapi yang didapat langit malah ekspresi serius mendengarkan seakan impian tinggi tersebut adalah hal wajar.

"setahun gue kerja, setahun gue ambil bimbel. Sampai di pengumuman, UTI kembali nolak gue. Di beberapa universitas juga gue dapat penolakan. Stres. Stres banget. Gue sampai kabur ke jogja buat nenangin diri."

"seminggu menyendiri di sana akhirnya gue dapat jawaban dari usaha gue yang udah mati-matian tapi kenapa terus dapat penolakan sebegininya."

"apa kak?"

Senyum terpatri di bibir langit, "gue lupa intropeksi diri."

"selama ini yang gue kejar pengin kuliah di hukum ternyata bukan passion gue yang sebenarnya. Gue kurang mengenali diri gue, dimana kemampuan gue, seberapa banyak kualifikasi yang gue punya. Tujuan gue milih hukum waktu itu selain karena cita-cita dari kecil pengen jadi jaksa, gue beranggapan bidang hukum adalah satu-satunya bidang yang punya prospek kerja dan privilege yang wah banget."

"telebih sekarang steriotip sekitar kalau kuliah di universitas ternama kayaknya baru bisa dilihat hebat kan?"

Nara setuju.

"mungkin tuhan kasih berkali-kali kegagalan biar gue ambil kesempatan buat intropesi dimana posisi gue sebenarnya. Gue pulang ke rumah dengan isi kepala yang-- astaga kemana aja gue selama ini?"

Dahi nara membentuk lipatan, "terus apa yang kakak lakuin setelah pulang ke rumah?"

"ikhlas menerima kegagalan itu dan daftar jalur mandiri tapi bukan jurusan hukum."

"teknik kayak sekarang ini?"

Langit mengangguk. "nyatanya gue sekolah kejuruan itu bukan suatu kesalahan. Tapi emang ini clue takdir gue dari tuhan. Gue memutuskan ambil Teknik Informatika di jogja."

"wah!"

"tapi ditolak."

Lanjutan kalimat langit membuat bahu nara mengendur. Langit tertawa sambil tepuk tangan, geli.

"gue nyoba lagi di tempat lain dan akhirnya bisa sampai sekarang ini"

Hening. Langit larut dalam nostalgianya, sedangkan nara, semakin menyelusup dalam celah-celah pikirannya.

"you're one of the strongest person i ever know, kak." Gumam nara tiba-tiba.

Langit tersenyum mahfum, "kamu juga, ra." pandangan mata langit jatuh tepat di bola mata nara.

"kadang tuhan pilih hancurin rencana kita sebelum rencana itu ngehancurin diri kita sendiri. life doesn't give what you want, bukan karena kamu nggak pantas untuk itu. tapi karena, you deserve so much more. Ra. more and more than anything."

Nara tertegun.

Percakapannya bersama langit terus berulang di pikiran nara, menemaninya selama perjalan pulang. Nara bersyukur bisa bertemu dengan langit hari ini. Tanpa sengaja langit sudah menanggalkan setitik kekuatan dalam dirinya. Langit benar, kalaupun nara kembali gagal bukan berarti nara bodoh atau nggak pantas. Tapi karena tuhan jauh lebih tahu jalan mana yang terbaik untuk hamba-Nya.

Diorama KontinuitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang