“walaikumsalam. iya, bu? Ini nara baru sampai halte, lagi nunggu ojek.”
Nara mengapit ponselnya dengan bahu, tangannya sibuk mengobrak-abrik tas mencari kacamata. Nara memang orangnya suka copot pasang kacamata alasannya karena suka pusing kalau dipakai lama-lama. Ah dapat! kacamata dengan bingkai warna hitam kini bertengger gagah disanggah batang hidungnya.
“yaudah hati-hati. Habis main langsung pulang! Jangan malem-malem!”
Nada peringatan yang terdengar dari ibunya membuat nara terkekeh. “siap bu!” nara hormat walaupun tahu si ibu ngga bisa ngelihat.
Lepas panggilan dari ibu terputus, ojek online yang dipesan nara tiba.
Nara pernah baca atau pernah dengar, katanya waktu terbaik untuk menyembuhkan diri itu dengan take your time to yourself. Ya!
Spend your time with your own! Bring yourself wherever you want to go. Someimes you don’t need anyone to help your problem. But you it’s only you. Makanya, deh. nara sekarang lagi jalan-jalan. Sebenarnya ngga jauh. Kalau sendirian begini nara biasanya cuma pergi keliling kota pakai transportasi umum atau masuk mall buat nonton bioskop, habis itu makan.
Destinasi nara kali ini adalah salah satu Galeri Seni yang ada di Jakarta. Setelah kurang lebih lima menit nara naik ojek online dari halte, sampai juga nara di gedung klasik bercat putih dengan pohon-pohon hijau—nara ngga tahu apa namanya—yang berdiri di dua sisi gedung.
Jujur nara kayak lagi sok-sok-an aja lihat-lihat lukisan begini. Padahal nara ngga begitu mengerti maknanya apa. Seperti sekarang yang tersaji di depannya ada satu lukisan, kalau nara baca dari secarik kertas yang ditempel di sampingnhya, judulnya itu; “Meraba diri” karya Ivan Sagito. Nara lihat ada tiga figur wanita dengan garis yang jelas, tapi tubuh dan wajah mereka kosong, ngga nampak. Cuma ada awan berkarak yang memunculkan tangan-tangan meraba wajah. Maksudnya apa? Proses pencarian jati diri?
(Retrived from: http://galeri-nasional.or.id/collections/174-meraba_diri)
“sesekali kita perlu egois meluangkan waktu untuk meraba diri.”
Refleks nara menoleh ke sampingnya begitu mendengar seseorang bersuara. Cowok dengan kaus hitam itu tersenyum sebelum kembali menatap lukisan. Dari tanda pengenal yang menggantung di lehernya nara bisa tahu kalau nama cowok tersebut adalah, Langit Pradita.
“figur-figur yang berjajar itu bisa diinterpretasikan sebagai proses introspeksi diri atau pencarian jati diri dalam bentuk kekosongan.” Lanjutnya. Bingo! Bibir nara ditarik melengkung ke atas, ia kembali ikut menatap lukisan sambil menepuk-nepuk dada. Bangga karena tebakannya yang tadi benar. introspeksi diri.
Langit diam-diam terkekeh geli setelah sudut matanya memergoki tingkah gadis yang rambutnya dikuncir satu itu.
“Sadar ngga sih, mengenal diri sendiri tuh jadi sesuatu yang sulit banget buat dilakuin?”
Nara menggeleng, dalam hati menjawab, bikin bahagia orang tua jauh lebih sulit.
Problema klasik yang ditumbulkan dalam diri seorang anak. ada sepenggal kalimat yang pernah ibu nara ucapkan dan akan terus nara ingat. Buat apa punya anak kalau ngga ada gunanya. Ternyata setiap anak yang terlahir ke dunia ini memang harus punya fungsi. entahlah, mungkin timbal-balik dalam satu hubungan anak serta orang tua memang wajib adanya.
Apa fungsi yang harus dimiliki seorang anak untuk orang tuanya? Nara ragu, tapi mungkin membahagiakan mereka adalah salah satunya. dan nara tengah berusaha.
Walau.... sulit.
“sendirian kesini?”
“a-ah iya sendiri” nara senyum singkat, ia berjalan menyusuri koridor ruangan sambil terus melihat-lihat lukisan yang dipajang.
Langit mengekor nara di belakangnya. Cerita sedikit, sebenarnya langit sekarang lagi jadi relawan dari salah satu seminar yang diadakan di gedung ini. Tugas langit di bagian logistik. Langit baru kelar acara. sambil nunggu rapat evaluasi, langit jalan-jalan terus ngga sengaja lihat nara sendirian berdiri di depan lukisan meraba diri.
Ngga ada yang aneh, tapi jujur diantara banyaknya remaja yang datang kesini lebih untuk foto-foto karena tempatnya aeshtetic. Justru ada nara yang malah diam doang sambil pasang ekspresi seperti sedang menelaah lukisan di depannya. Satu hal itu langsung menarik perhatian langit.
“kakak anak seni ya?”
Langit tertawa menangkap pandangan nara yang tertuju pada rambutnya. Emang ya, rambut gondrong identiknya sama anak teknik kalau ngga seni.
“bukan. gue teknik.”
Heehhehehhehe tuhkan.
“lo sendiri? udah kuliah kan?”
Nara menunjuk dirinya seperti bertanya, ‘aku?’. Langit mengangguk. Kini keduanya sudah duduk di kursi panjang yang di sediakan di tengah ruangan.
“engh-- aku gapyear kak.”
“oh berarti sekarang ikut sbmptn ya? Gimana hasilnya?”
Nara mengeleng lemah. Ini pertanyaan yang paling nara hindarin. nara ngga suka sama sensasi yang timbul seakan-akan nara nih goblok banget ngga bisa lolos. Bagi nara sendiri, ngga gampang buat jawab pertanyaan ini, padahal sederhana. Nara sampai nonaktif semua sosisal media loh, demi menghindari pertanyaan serupa yang biasanya didapat dari teman-temannya kayak tahun lalu.
Terlebih ini menjadi tahun kedua kalinya nara mencoba. Gimana tanggapan temannya kalau nara gagal lagi? nara ngga mau dapat belas kasihan atau kata-kata semangat lagi. atau buruknya tanggapan negatif gara-gara dirinya sok-sok-an gapyear tapi hasilnya....
Terdengar hembusan napas di sebelah nara. Langit menyandarkan punggungnya pada badan kursi. Ia menerawang ke depan.
“gue pernah berada di posisi lo yang sekarang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Diorama Kontinuitas
Krótkie Opowiadania"kadang tuhan pilih hancurin rencana kita sebelum rencana itu ngehancurin diri kita sendiri. life doesn't give what you want, bukan karena kamu ngga pantas untuk itu. tapi karena, you deserve so much more. Ra. more and more than anything." -- Percay...