PROLOG

174 7 2
                                    

it's contain mature content, please be wise when you read it.

Oktober 2016.

Though the memories
would fade away,

  The pain was still there,
  Your face haunted me
    In the way that,
   no one ever could do

[ Abitama ]     
                
     “Are you serious?”

     “Do I look like a kidding?”

    Gue bicara terengah, mencoba memfokuskan diri dengan segala kuasa gue yang hampir berserakan hanya karena bibir seorang cewek yang baru gue temui satu jam lalu. Katakanlah gue gila, tapi ternyata memang milik si gadis ini secandu itu. Gue berani sumpah. Dan biar gue mundurkan kembali waktu satu jam yang lalu.      

    Malam ini gue pergi ke tempat yang sama, di jam yang sama dengan hiruk pikuk yang sama. Duduk di kursi yang berjajar di depan bartender hanya untuk memesan beberapa gelas berisi cairan memabukkan yang menjadi favorit gue. Gue merasa nggak ada bedanya, beberapa kali cewek mendekati gue hanya untuk bermain mata atau secara terang-terangan mengajak gue turun saat musik sedang terlalu memekakkan telinga. Dan gue akan dengan tegas menolak. Tujuan gue kesini memang bukan untuk itu. Sekedar membuang isi kepala gue yang terlalu penat karena tumpukan beban kerja seharian, seperti ini pelarian gue.

     Tapi rupanya gue salah menduga, setengah jam sejak kedatangan gue. Seorang cewek datang dan duduk tepat di sebelah gue. Dia nggak menoleh, gue pun hanya sekedar melirik untuk menatap sekilas. Tidak ada percakapan apapun setelahnya.  Mungkin lima belas menit berlalu dalam keheningan. Gue mengeluarkan kotak rokok gue dari saku jaket hitam yang gue pakai malam ini. Memantik ujungnya lalu asap mengepul.

      Suara tarikan napas dari sosok di sebelah gue membuat gue menoleh. Dan ternyata dia sedang menatap gue, meski gue kebingungan karena tidak paham arti dari tatapannya itu. Dia mengulurkan tangannya lalu membuka suara. Menjadi orang pertama yang memecah kebisuan di antara kita.

    “Gue minta rokoknya boleh?”

    Itu kalimat pertama yang dia ucapkan. Dan gue tanpa berpikir jauh mendorong kotak rokok serta black lighter yang tadi masih berada dalam genggaman gue.                     

   Gue mengamati, bagaimana dia mengambil sebatang rokok dari dalam kotaknya hingga ujung lintingan nikotin itu kini sudah berwarna merah menyala. Kembali gue mengalihkan pandangan, sampai kemudian suara tersedak hingga batuk mengalihkan atensi gue lagi. Cewek itu terbatuk, meletakkan rokoknya yang masih menyala di atas asbak. Tangannya meraih gelas terdekat dan meneguknya terburu-buru.                 

    Dan gue meringis saat melihat wajahnya yang memerah kembali terbatuk lebih parah dari semula.

      Jackpot banget. Dia batuk karena merokok, dan dia minum martini hanya untuk menambah parah tenggorokannya yang tentunya akan semakin panas. Bartender berlari menyerahkan sebotol mineral, gue meraihnya cepat dan membuka tutupnya. Menyodorkan botol yang sudah terbuka dan refleks menepuk punggungnya pelan. Dia kelihatannya berusaha untuk mengambil napas, lalu beberapa detik setelah itu batuknya mereda. Dan helaan napas lega terdengar dari si bartender dan juga gue.

      Gue takut aja, kalau hal emergensi terjadi dan dia sampai hilang nyawa. Gue akan jadi tersangka utama karena dengan sukarela ngasih rokok milik gue pada orang yang ternyata tidak pernah merokok.

    “Sorry, gue bikin ribut.” dia buka suara, tanpa menatap gue.  Alih-alih pandangannya menatap lurus pada puntung rokok yang ternyata apinya sudah dia padamkan.

AskaraWhere stories live. Discover now