III. Coincidence or no?

82 5 4
                                    

September 2012.

             
[ Janitra ]

      “Nit, abis ini kelas lagi?” aku menoleh untuk sekedar menggeleng sebagai jawaban atas tanya yang dilontarkan.                      

       “Terus abis ini mau kemana?” Shella berusaha menyejajarkan langkahnya, sementara aku belum memberi jawaban karena memang tidak tahu tujuan.

    “Gue laper.” tepat saat sebuah suara gemuruh muncul dari perut, membuat aku tidak terlalu malu mengakui bahwa memang kini perut meronta minta diisi.

     Tepat saat aku menjawab Shella tertawa, mengangguk paham atas apa yang terjadi dan memutuskan untuk menjadikan kantin menjadi tujuan kami selanjutnya.

    Bicara soal kantin, sebuah insiden atau tepatnya kejadian yang masih sangat aku ingat adalah seorang lelaki yang menurutku cukup gila mendadak datang tanpa aba-aba dan memujiku tanpa tahu malu. Kejadian itu sudah berlalu seminggu namun aku masih merinding kala harus mengingat lagi memori menggelikan itu.

   “Mikirin apa sih Nit?”

      Sekarang kami sudah duduk berhadapan di kantin. Shella dengan sepiring siomay dan es jeruk, serta aku dengan semangkok soto dan es teh tarik.

   “Eh lo inget gak kejadian waktu itu, cowok yang mendadak—”

   “Iisssh, udah jangan dibahas, bikin napsu makan gue mendadak turun aja,” aku mengibaskan tangan, memotong ucapan Shella karena tahu kemana arah pembicaraan akan bergulir.

   Tepat setelah aku bicara begitu sebuah suara mengejutkanku. Sendok yang semula sudah hampir mendarat di mulut berakhir di atas mangkok kembali.

    “Gue sekarang udah tau nama lo, Janitra kan?”
           
    Aku mengacuhkan, sibuk memainkan sedotan es teh tarik tanpa berniat menyeruputnya.

     “Lo gak mau tau nama gue?”

     Freak. Aku menggumam dalam hati, berusaha untuk tidak langsung mengucapkannya meski mulutku sudah sangat ingin bicara.

     Shella berdehem, menahan tawa karena aku masih dengan gigih mengabaikan sosok lelaki yang beberapa menit lalu hampir menjadi topik pembicaraan kami.

     “Cantik-cantik kok diem aja sih, perasaan waktu itu galak.”

     Aku menghela napas gusar, lalu menoleh untuk menatap dengan tajam sosok yang duduk manis di sampingku dengan raut wajah tidak berdosa.

    “Daripada ganteng-ganteng tapi bacot,” aku berkata sinis, lalu bangkit dari meja meninggalkan soto yang masih ada setengah piring serta es teh tarik yang baru aku minum seperempat.

    Dan lelaki itu bukannya marah karena ucapanku, dia justru tertawa, ikut berdiri lalu mengikuti langkahku tanpa pantang menyerah.

   “Nah gitu dong, makin galak makin cantik.”

   Dan aku mendengus, tanpa menoleh lalu segera berlalu tanpa berniat memandang ke belakang.

    “Dasar sinting.”

AskaraWhere stories live. Discover now