Desember 2016.
[ Abitama ]
Keberadaan Raja yang menghilang dibalik pintu ternyata menjadi tanda bahwa topik yang baru saja dibicarakan oleh lelaki itu terjadi beberapa menit setelahnya. Gue akhirnya ikut masuk ke dalam kantor, lalu mendapati beberapa wajah asing mengisi ruang tengah kantor gue yang ukurannya lumayan luas.
Mbak Joana berdiri di tengah-tengah, tampak berbincang akrab dengan seorang wanita yang bagi gue wajahnya lumayan cantik— ehm koreksi, lebih tepatnya cantik di atas rata-rata wanita lain. Terutama penghuni kantor gue sih bisa dibilang.
“Guys, jadi ini beberapa orang yang akan ambil bagian di pemotretan kita selanjutnya. Ini gue kenalin modelnya namanya Julia,” Mbak Joana berseru dengan wajah cerah, memberi gesture dengan tangannya ke arah wanita di sampingnya.
Julia, nama yang barusan gue denger cukup gampang untuk diingat. Dan cukup cocok untuk disandingkan dengan wajahnya yang sejak awal hingga detik ini masih saja tampak ramah dan tersenyum.
“Halooo, salam kenal semuanya. Mohon bantuannya ya, kalau ada yang kurang dari saya bisa langsung disampaikan aja. Saya terima saran dengan senang hati,” Julia buka suara sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sampai kemudian terhenti di ujung, tepat dimana gue berada. Gue agak kikuk sebab dia masih saja tersenyum, seolah memberi isyarat gue untuk juga membalas senyumannya, dan akhirnya gue pun membalas secukupnya.
“Perkenalan masing-masing sambil jalan aja kali ya Juli? Pokoknya ini tim gue yang nanti handle semuanya, fotografer utama kita cowok paling ujung disitu namanya Abitama. Lo bisa diskusi apa aja sama dia oke?” Mbak Joana menunjuk gue, lagi-lagi membuat gue harus kembali bersitatap dengan Julia. Akhirnya gue hanya melambaikan tangan berusaha bersikap sopan, lalu berbalik badan dan membaur dengan yang lain.
“Hai, Abi? Boleh saya panggil gitu?” sebuah sapaan terdengar disela-sela waktu gue mengatur beberapa kabel dan lampu yang akan gue susun sebagai sumber pencahayaan.
“Oh hai? Boleh, gue emang biasa dipanggil gitu. Santai aja ngomong sama gue, Jul,” gue nyengir, agak bingung karena Julia bicara dengan nada dan kalimat yang formal. Gue tidak begitu terbiasa sebetulnya.
“Ah, oke oke. Aku— eh saya, aduh sebenernya gue gak biasa ngomong santai gitu,” ucapannya terdengar jujur, membuat gue tertawa sebab wajahnya yang agak kikuk saat kalimat yang diucapkannya jadi terdengar berantakan.
“Hahaha, oke senyaman kamu aja deh,” memutuskan untuk mengalah, akhirnya gue memahami bahwa lawan bicara gue ini tidak terbiasa bicara santai dan non formal. Gue berusaha sebisa mungkin membuatnya nyaman, because remember she's our client. Seengaknya dia klien alias brand ambassador kantor gue secara tidak langsung, gue nggak mungkin bikin dia nggak betah apalagi pekerjaan ini belum mulai sama sekali.
“Kalau ada yang bingung aku boleh tanya kamu kan Bi?”
Gue pikir jeda beberapa menit membuat percakapan antara kami terhenti begitu saja, ternyata Julia buka suara lagi. Gue menoleh dan mendapati dia sedang menatap gue sungguh-sungguh.
“Ask me anything yang sekiranya kamu butuh,” gue menanggapi tanpa melihat wajahnya, karena gue pun sedang dikejar waktu untuk segera mengarahkan Julia dan memulai pemotretan siang hari ini.
Waktu bergulir tanpa terasa, terik matahari yang sinarnya seolah masih terasa menembus dinding kaca kantor gue yang sudah diberi pendingin ruangan super besar, kini sudah redup. Berganti dengan goresan jingga di sepanjang langit hasil sang maha pemilik segala.
Gue sudah usai membenahi segala perlengkapan yang gue gunakan untuk mengambil gambar. Waktu memang cepat berlalu, diselingi pengarahan, berganti kostum serta waktu istirahat memangkas waktu yang lumayan panjang hingga berakhir sore hari.
Kini tinggal leher gue yang baru terasa pegal karena sedari tadi harus memosisikan kepala gue dibalik lensa kamera, memastikan bahwa segala gambar yang gue ambil harus memuaskan terutama untuk ketua tim gue Mbak Joana dan rekan kerja kita.
“Bro, gue cabut duluan ya!” Raja menepuk bahu gue, sudah tampak rapih dengan hoodie abu-abunya yang sangat familiar di mata kami para karyawan kantor.
“Iya, Ja. Gue bentar lagi balik, mau ambil barang di ruangan dulu,” melambaikan tangan sebagai bentuk salam pamit, gue mengambil langkah berlawanan dengan Raja. Sampai kemudian akhirnya terhenti bukan karena sudah tiba di ruangan kerja gue, tapi gue melihat Julia berdiri di depan ruangannya dengan wajah tampak gusar.
“Juli? Belum balik?” gue menyapa, meski sebuah sapaan basa-basi setidaknya lebih baik daripada gue melengos begitu saja kan?
“Eh Abi? Iya ini tadi kru aku yang lain harus balik semua ke kantor dulu, aku emang niatnya langsung balik dari sini. Tapi hp aku mati, tadinya mau pesen daring, Bi,” dia menunjukkan hpnya yang layarnya sudah menghitam.
“Kamu gak bawa charger ya?”
“Enggak, aku lupa karena buru-buru,” dia mengaku dengan wajah menyesal. Dalam hati gue pun menyayangkan karena sekali lihat gue bisa tahu bahwa ponselnya memiliki merk yang berbeda dari gue. Logo apple tercetak di belakang ponselnya , sedangkan untuk gue yang hitungannya masih hobi main game dan memotret meski lewat hp, merk itu bukanlah pilihan gue.
Gue berpikir dalam hati, suasana kantor pun sudah sepi. Lagipula gue nggak bisa meminjamkannya charger dan gue pun nggak bisa meninggalkannya begitu saja.
“Kamu tunggu bentar deh Jul, gue mau ambil barang gue dulu di dalem,” mempertimbangkan sesuatu beberapa saat gue melangkah ke dalam ruangan. Dari sudut mata gue bisa melihat wajahnya tampak keheranan dengan kalimat gue yang tanpa solusi baginya itu.
“Nanti gue anter pulang.”
“Oh... Thank you Abi,” wajah gusarnya berangsur hilang dan berubah cerah.
Seharusnya seharian beraktivitas yang super melelahkan setidaknya membuat wajah kita agak suram dan kusam nggak sih? Begitu keluhan yang sering gue dengar dari para penghuni perempuan kantor ini. Apalagi di siang hari, harus sibuk mengeluarkan senjata-senjata yang mereka sebut dengan make up untuk memulas ulang kembali wajahnya agar tampak segar.
“Ini namanya touch up Abi!” begitu kata Mbak Salsa, salah satu senior di kantor gue yang sudah menikah dan punya dua anak.
Gue cuma melongo dan berpura-pura paham saat itu. Padahal gue tidak mengerti kenapa harus berusaha seperti itu, bagi gue tampil apa adanya lebih baik meski wajah tiap orang memang nggak bisa divermak apapun bentuk yang sudah
digariskan oleh Tuhan.Tapi sepertinya hal begitu tidak berlalu untuk semua perempuan sih. Buktinya dihadapan gue ini, meski sudah menjelang malam bagi gue wajahnya masih lah sama seperti ketika gue bertemu pertama kali siang tadi.
Masih saja cerah, masih saja tampak cantik seperti memang itu anugerah dari Tuhan untuk seorang Julia.
“Udah selesai Bi ambil barangnya?” dia berdiri dihadapan gue, tersenyum lebar tampak menunggu gue yang sedari tadi tenggelam dalam pikiran gue sendiri.
“Oh, udah nih. Yuk,” gue mengambil langkah lebih dulu. Dan setelah itu kami berjalan tanpa ada percakapan lagi.
YOU ARE READING
Askara
Fiksi PenggemarSaat semesta memiliki berbagai cara untuk memberikan segala kemungkinan yang tidak dapat diprediksi, saat semesta bisa dengan begitu mudah mempertemukan yang tidak pernah terduga, memisahkan yang semula bersama. Kamu menjadi sekian alasan aku memper...