V. Offering a lunch.

63 5 4
                                    


September 2012.

[ Janitra ]

     “Jadi lo udah tau dia anak fakultas mana? Namanya siapa?” Shella bertanya dengan wajah ingin tahu, menopang dagunya di telapak tangannya yang ditumpukan di atas meja.

     Esok harinya aku menceritakan seluruh kejadian hari kemarin pada Shella, berujung pada kehadiran kami di kantin untuk menunggu sosok yang sesungguhnya masih sangat malas aku bahas apalagi temui.

     “Udah,” aku menjawab singkat, sesungguhnya malas membahas tapi hanya Shella yang tahu keseluruhan cerita dari awal tentang aku dan si cowok sinting.

    “Tau dari Malik?”

    “Iya, siapa lagi temen kita yang paling hits yang temennya dimana-mana,” kataku sambil tertawa.

     “Terus lo tukeran nomor?”

     “Enggak lah, ngapain? Gue nemuin dia kemaren di fakultasnya, janjian hari ini buat kembaliin sepatunya.”

     “Lo lebih pilih repot-repot nyamperin dia daripada nyari tau nomor hpnya?”

     “Gue gak mau berurusan lagi sama dia abis ini, Shell. Once is enough.”

     “Padahal gue maunya berurusan terus sama lo, Nit.”

    “Anjir kenapa sih lo selalu bikin kaget?!” aku terkejut, lagi-lagi atas kehadiran si cowok yang tiba-tiba.

   “Padahal gue udah dateng daritadi. Pasti lo gak sadar saking seriusnya ngomongin gue,” dia tersenyum dengan wajah menyebalkan seperti biasanya.

   “You wish,” aku mendelik, lalu menarik sebuah goodie bag yang berada di sampingku dan menyerahkannya tanpa pikir panjang.

   “Nih sepatu lo, udah gue cuci. Makasih.”

   Dia menerimanya, lalu menatapku masih dengan senyum lebar yang entah mengapa selalu tampak menyebalkan di mataku.

    “Gue terima sepatunya, sama ucapan makasihnya. Tapi ada syaratnya.”

    “Apaan sih kok pake syarat segala?”

    “Syaratnya gampang Nit, makan sama gue.”

    “Udah Nit, iyain aja,” kali ini suara Shella menginterupsi. Satu permintaan sudah cukup membuat kepalaku mendadak pening, dan Shella menambahkan dukungannya pada si cowok sinting ini.

    “Kenapa sih lo nyebelin banget?” aku menggerutu, meski sesungguhnya sedang berpikir haruskah aku mengiyakan permintaannya.

Tidak, tolong jangan berpikir aku mulai tertarik atau mudah terbujuk hanya karena ucapannya, ini murni hanya ucapan terima kasih karena walau bagaimanapun saat itu dia sudah menolongku dengan merelakan sepasang sepatunya.

    “Dimana?”

    “Di cafe deket kampus, Nit. Sekarang ya?”

    Aku tidak mengiyakan lalu berdiri dan segera beranjak dari meja.

    “Kalau lo lama gue balik.”

    “I'm coming, sweetheart.”

    Dan mendadak aku merasa menyesal sudah mengiyakan permintaannya barusan.

AskaraWhere stories live. Discover now