Afterglow Part 5 - Kejutan

941 20 6
                                    

Malam tiba lebih cepat. Aku segera keluar dari cellar untuk menemui Alex. Tanpa membuang waktu, langsung saja kupindahkan tubuhku ke cellar-nya.

Saat tubuhku telah berada di cellarnya, tanpa sengaja aku menyenggol meja. Salah satu gelas di atasnya jatuh, menggelinding dan hampir saja melewati pinggiran meja. Secepat kilat kukembalikan gelas itu ke posisi semula.

Meski tidak ada sorot cahaya sama sekali, mata vampir tidaklah mengalami kesulitan untuk melihat dalam kegelapan. Tubuh kami serta segala indranya memang langsung menyesuaikan dengan kebutuhan kaum kami sebagai penghisap darah di malam hari.

Aku mendesah pelan dan sedikit frustrasi saat melihatnya masih terpejam di atas ranjangnya, tampak nyaman dan sama sekali tidak terganggu dengan kedatanganku yang agak gaduh.

“Selamat malam, William?” sapa Alex masih dengan mata terpejam.

“Bisa kaujelaskan padaku apa yang akan terjadi?” desakku, langsung ke pokok masalah yang sedari pagi mengganggu pikiranku.

“Ckckck… kau kurang sabaran sekali!“

Kulihat Alex beringsut dari posisi tidurnya. Kini dia sudah berdiri di samping ranjangnya sambil menegakkan punggung dan merentangkan kedua tangannya. Kemudian dia melintasi cellar dan menuju meja di sisiku. Tangan kanannya meraih wadah bening berisi cairan pekat berwarna merah yang tertutup rapat, lalu membukanya dan menuangkannya pada gelas yang tadi kujatuhkan.

“Mau?” tawar Alex.

“Tidak!” jawabku cepat.

Dengan cepat pula Alex meneguk habis darah di gelasnya. Kemudian sebagai tanda kepuasan yang berlebihan, diusapnya ujung bibir dengan ibu jarinya.

“Sudah selesai?”ucapku sambil sedikit menggeram. Aku mulai kesal melihat sikap menggodanya. Bahkan dia tidak berusaha untuk menyinggung apa yang sudah kuteriakkan keras-keras dalam pikiranku.

Dia melirikku sekilas, seolah mengejek ketidaksabaranku.

Kemudian dengan gerakan pelan dan teratur Alex menaruh gelasnya di atas meja. Senyum mengejek di wajahnya masih belum pudar saat menatapku.

Aku pura-pura memperhatikan, meski ekor mataku hanya kutujukan ke arah kancing baju teratasnya. Aku tidak ingin terganggu dengan ejekannya, sementara hal itu mampu membuatku bertambah kesal.

Sepertinya Alex ingin mengulur waktu kami. Kini dia beranjak menuju tangga cellar. Aku mendengus pelan saat menyadari dia melangkah dengan begitu pelan.

“Sepertinya kita harus ke ruang tengah. Ayah sudah menunggu di sana,” ucapnya pelan tanpa menoleh ke arahku.

Kalau aku tidak mengingat dia adalah saudaraku ―yang diciptakan ayah setelahku― satu-satunya, mungkin aku akan menghajarnya habis-habisan. Aku sudah terlalu menahan kesabaranku, meski aku tidak memungkiri dia tahu lebih banyak dari siapapun. Sikapnya yang menyebalkan memang tidak pernah membuat masalah bagi keluargaku. Hanya saja aku tidak suka dia membuatku menebak dan membayangkan apa yang akan terjadi.

Kesunyian panjang menghiasi ruangan tengah yang mirip seperti ballroom sebuah hotel bintang lima. Hanya saja ruangan ini tidak ada musik ataupun lampu gemerlap yang menghiasi dinding-dinding batunya. Ruangan ini hanya dihiasi oleh sebuah lampu gantung besar di tengah ruangan dan beberapa lambu tempel di sisi jendela yang juga berukuran besar.

Rumah ini memang mirip dengan rumah kami di Venesia dulu. Gaya arsitekturnya sangat klasik dengan banyak patung dewa-dewi Yunani menghiasi setiap sudut rumah.

Ketika pertama kali menemukan rumah ini, ayah langsung menemui pemiliknya, seorang bangsawan Cambridge yang masih kerabat kerajaan Inggris. Kurasa dengan bakat lain ―menghipnotis manusia― yang dimilikinyalah, ayah bisa memiliki surat kontrak tak berjangka untuk rumah ini.

AfterglowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang