Afterglow Part 2 - Alasan

1.3K 35 7
                                    

Setelah Lara benar-benar pergi, segera kupejamkan mataku dan sedetik kemudian aku sudah tak lagi berada di bookstore, melainkan berada di rumahku.

Aku bersyukur memiliki bakat untuk berpindah tempat dalam sekejap. Dengan begini aku bisa segera melenyapkan keinginanku untuk mengikuti gadis bermata hijau tadi.

Sesaat kurasakan seluruh tubuhku menegang ketika mencium bau darah dari ujung lorong. Kucoba untuk mengatasinya dengan menahan napas.

“Kau mau minum?”

Kulihat saudaraku, Alex, berjalan ke arahku dengan santainya. Di tangannya kulihat benda bening yang di dalamnya terdapat cairan merah. Darah.

Tanpa sadar kutelan air liurku yang menetes akibat efek dari aroma darah yang menyebar ke seluruh ruangan. Sekarang baru kusadari jika dahagaku menjadi lebih parah daripada sebelumnya.

Kuusahakan bersikap senormal mungkin agar Alex tidak mencibirku jika aku terlalu terlihat tergoda oleh darah di tangannya.

“Tidak. Terima kasih,” jawabku sambil mengatur napas.

“Benarkah? Aku tidak yakin kau telah mendapatkan mangsa malam ini. Wajahmu benar-benar tampak menyedihkan,” cibir Alex seraya memutar-mutar gelas di tangannya. Kurasa dia sedang menggodaku dengan sedikit menggoyang-goyangkan gelasnya agar aroma darah semakin pekat di udara.

Kutahan otot di leherku agar tidak tampak tegang akibat reaksi alami vampirku ketika mencium pekatnya aroma darah yang menggoda.

Lagi-lagi kumaki diriku sendiri akibat ketololanku karena telah menyiakan-nyiakan mangsa hanya demi seorang gadis.

Lara!

Sesaat bayangan wajahnya ketika tersenyum berkelebat di pikiranku.

“Kenapa?” tanya Alex membuyarkan lamunanku.

 Sesaat aku hanya menatap wajah Alex. Kemudian kuputuskan untuk menemui ayahku sebentar.

“Aku akan menemui ayah,” ucapku singkat sambil berlalu, melewati Alex yang masih menampakkan senyum mencemoohnya.

“Kalau kau berubah pikiran, kau bisa mencariku di kamar. Masih banyak persediaan darah yang bisa kaucicipi,” ucap Alex setengah berteriak.

Aku tidak tahan dengan keusilan saudaraku. Secepat kilat aku berusaha menghilang dari pandangannya.

Tak sampai seperempat detik, aku telah sampai di depan sebuah ruangan yang pintunya tertutup.  Sesaat kemudian aku mendengar ayah memanggil namaku.

Inilah bakat ayahku, mengetahui siapa yang ada di sekitarnya, sekalipun orang itu berada di balik pintu sepertiku saat ini.

Aku merasa tidak sabar. Tanpa pikir panjang kupejamkan mataku. Saat kubuka mataku, aku sudah berada di sisi ayahku yang masih menatap lukisan besar di hadapannya. Inilah bakatku, berpindah dengan kecepatan super super tinggi tanpa menggerakkan kedua kakiku.

Aku maju selangkah, mendekati ayahku yang tetap terpaku pada lukisan itu.

“Inikah Isabel?” tanyaku ketika mendapati lukisan seorang wanita yang berambut panjang, berkulit putih seputih porselen dan memiliki bibir indah.

Walau aku sedang tidak menatap ayahku, aku tahu kalau dia sedang tersenyum. “Ya. Inilah Isabel. Wanita yang akan selalu kurindukan, my precious love.”

Aku menatap ayahku. Jelas sekali nampak di wajahnya kerinduan yang tulus.

“Seandainya dia masih hidup, aku akan sangat senang memiliki ibu secantik dia.”

“Dia akan selalu hidup. Dia akan selalu berada di sini,” kata ayahku sembari menempelkan tangan kanannya di dadanya.

Kutatap mata biru ayah. Jelas sekali terlihat jika dia sangat mengagumi Isabel. Matanya mengatakan hal itu.

Ayah juga menatapku. Kulihat dia sangat bahagia, entah karena kehadiranku atau karena lukisannya sudah selesai.

“Bagaimana perburuanmu malam ini?” tanya ayah.

“Tidak begitu baik,” jawabku sambil mengalihkan tatapanku pada lukisan Isabel. Bibir wanita itu kembali mengingatkanku pada Lara.

“Ada apa? Apa ada yang memergokimu saat sedang berburu?” Bisa kurasakan kecemasan di setiap sikap dan perkataan ayahku.

“Tidak. Tidak ada yang memergokiku. Aku hanya…”

“Hanya apa?” tanya ayah ketika untuk beberapa saat lamanya aku terdiam, menggantung kalimat tanpa meneruskannya.

“Tidak ada. Aku hanya sedang mengalami disorientasi saat memburu mangsaku. Tapi semua baik-baik saja. Ayah tidak usah khawatir,” ucapku sambil mengeksekusi bagian di mana dahaga vampirku terganggu oleh kedatangan seorang gadis yang mampu membuatku melepaskan buruan.

“Begitu?” jawab ayah sambil mengangguk. Aku tidak terlalu memikirkan arti dari anggukan ayah. Mungkin saja ayah memang sengaja mengalah dan tidak ingin terlalu membicarakan kekacauan yang kualami saat berburu tadi. “Apa kau sudah mempertimbangkan kepindahan kita?” tanya ayahku tiba-tiba.

Aku menoleh, menatap ayahku lekat-lekat, kemudian menunduk. Aku mencoba memikirkan kata-kata yang pas untuk mengutarakan pendapatku mengenai rencana kepindahan kami. “Sepertinya Venesia tidak cocok untukku. Untuk sementara ini, kurasa Cambridge jauh lebih baik.”

Entahlah. Aku merasa telah memberikan jawaban yang kurang pas, kurang beralasan.

“Kenapa?” tanya ayahku. Wajahnya menampakkan rasa penasaran yang ditahan.

Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Aku memaksa otakku bekerja lebih keras, mencari jawaban yang sempurna. “Aku akan tetap berada di sini karena ada seseorang yang menahanku untuk tetap di sini.”

Untuk sementara aku merasakan udara di sekitarku lenyap. Aku juga tidak mendengar tarikan napas ayah. Entahlah, mungkin dia terkejut mendengar jawabanku yang tiba-tiba. Bukan. Ini adalah sebuah pengakuan.

“Siapa?” satu kata yang tiba-tiba terlontar dari bibir ayahku.

Aku menatapnya sesaat, kemudian menatap lantai di bawahku.

“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Kelak aku akan membawanya kemari. Dia cantik. Dia juga memiliki bibir merah Isabela.”

So is mine. Isabela memang cantik. Dan kau telah membuatku penasaran dengan Isabel-mu,” timpal ayahku. Kulihat sebuah senyum menghiasi wajahnya.

Kami sama-sama menatap lukisan Isabela.

Aku membayangkan jika di dalam lukisan ini adalah dia, gadis yang telah menarik perhatianku. Aku akan sangat senang jika aku bisa bersamanya. Aku hanya bisa berdoa supaya aku bisa kembali bertemu dengannya.

AfterglowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang