GENRE: ROMANCE-SUSPENSE
***
Sepasang kekasih itu kasmaran luar biasa.
Mata kian sendu kala bertemu mata, terbuai oleh binar kecil bola hitam yang seolah mengindahkan seluruh dunia kala dia datang.
Sayang dunia melarang. Semakin kuat mereka berpegang satu sama lain, maka tarikan dari masing-masing mereka semakin kuat. Seakan ditarik terbirit-birit oleh takdir, menangis sedu sampai menjerit pun tiada guna.
Dunia memang jahat. Cinta mereka paling suci, langsung dari hati. Tidak dikotori sedikit pun oleh nafsu bejat atau keserakahan.
Luna, dan Rama.
Luna adalah anak dari pengusaha besar di negara tempat mereka tinggal. Berbeda dengan Rama yang memiliki ayah pemabuk, ibu tak ada.
Dan malam ini, mungkin akan menjadi tatapan terakhir mereka. Di bawah hujan yang membasahi tubuh, tetapi entah kenapa terasa hangat dari dalam. Terasa hangat oleh air mata yang bercampur dengan air hujan.
Mereka menangis. Tak berkata barang sedikit. Meratapi kenyataan kalau mereka harus berpisah, dunia sungguh kejam.
Kenyataan bahwa mereka tidak akan ke tempat ini lagi, taman dengan warna warni cahaya lampu. Di tengah lapangan ini, kedua insan itu hanya bisa bertatap. Waktu terus berjalan, malam kian menggelap. Hati semakin tertusuk kenyataan.
"Aku mencintaimu, Rama."
"Aku juga! Aku juga! Aku juga!" ucap Rama berulang-ulang, dengan nada frustasi di sela tangis. "AKU JUGA," jeritnya.
Didekatinya Luna dengan gelisah dan tergesa-gesa. Dipeluknya wanita itu sangat erat sampai napas rasanya sesak, seirama dengan sesak yang ada di di dadanya saat ini.
"Tidak bisakah kita bersatu?" tanya Rama. Luna hanya diam, sambil menangis tersedu. Tak sanggup menjawab.
"Aku mencintaimu," ulang Luna.
Maka pelukan itu semakin erat saat perkataan itu terlontar. Hatinya semakin tak rela.
Setelah beberapa lama, Rama melepas pelukannya. Lalu berbisik dengan sangat lembut ke telinga Luna. Seketika mata Luna membelalak, menatap Rama dengan takjub, matanya berbinar-binar.
"Aku akan menunggumu sampai kapan pun. Aku mencintaimu," ucap Luna, lalu dia dipeluk lagi oleh Rama.
***
Malam itu lewat begitu saja, tetapi perihnya semakin menjadi-jadi.
Seminggu kemudian, kenyataan sudah di depan mata, takdir sudah jelas. Luna akan menikah, hari ini juga. Pada siang hari di gedung mewah.
Calonnya memang mapan, menantu idaman orang tua. Apalah guna kalau Luna tidak suka, cintanya hanya untuk Rama.
Mirisnya ganasnya kenyataan itu tak bisa Luna tumpahkan dengan tangis. Karena dia harus tersenyum hari ini, harus tertawa hari ini, harus bahagia hari ini.
Dia hanya yakin kepada harapan, satu-satunya yang bisa dia harapkan saat ini. Sesuatu yang akan membawanya kepada takdir baru, meninggalkan dunia sekarang yang dipijaknya kini, menuju ke dunia baru.
Acara pernikahan sudah mencapai puncaknya, ijab kabul akan segera diucapkan. Calon suami Luna sudah duduk di sampingnya, dengan kerudung putih yang menyatukan mereka. Bersiap-siap mengucapkan ijab kabul yang akan dibimbing oleh orang di depannya.
Luna menggigit bibir, berusaha tidak menangis sedikit pun. Sembari sedikit-sedikit mencuri pandang ke pintu keluar. Berharap di sana akan menjadi jalan untuknya pergi ke dunia lain.
"Saya terima nikahnya—"
DOR!
Harapan Luna terwujud. Rama benar-benar datang menyelamatkannya. Persis seperti yang dibisikkannya semalam. Suara tembakan itu terjadi berkali-kali, membunuh beberapa keluarganya. Sekaligus membunuh calon suaminya.
Luna langsung berlari bersama Rama. Walau pria itu memakai topeng dan berbaju panjang, dia tahu kalau itu Rama.
Mereka langsung berlari, berjalan melalui pintu belakang dan langsung masuk ke mobil Luna yang sudah disiapkan di depan pintu gedung.
Di jalanan, mereka tertawa sekencang-kencangnya. Mereka berpelukan sekencang-kencangnya. Mereka bebas! Mereka bebas!
Impian mereka selama ini terwujud. Hidup berdua sampai maut memisahkan. Tak ada lagi takdir yang akan menarik dan melepaskan genggaman tangan yang begitu kuat. Tak 'kan ada lagi yang mengganggu mereka. Semua yang mereka inginkan terwujud tepat di hari yang harusnya buruk ini. Betapa mereka merasa beruntung saat itu.
Walau seandainya saat ini mereka mati sekali pun, mereka tetap akan merasa bahagia. Karena tujuan mereka terwujud, cinta mereka berhasil bersatu.
Mobil itu melaju ke tempat yang sangat jauh dari kota. Menuju ke desa tempat Rama tinggal. Sekarang Rama sendirian—ayahnya telah dibunuhnya seminggu yang lalu. Khusus dia lakukan itu agar dia bisa tinggal bersama Luna. Aman, tanpa ada yang mau mengganggu.
Layaknya pasutri baru, setiap hari mereka tersenyum. Semua hal yang menyedihkan terlupakan. Dunia seakan milik mereka berdua. Kebahagiaan sejati tercapai.
Namun, sucinya cinta itu mulai dipertanyakan.
Dipertanyakan oleh berapa nyawa yang telah mereka lenyapkan untuk mewujudkan cinta mereka yang suci.
Mereka memang bahagia pada awalnya, mencintai dan dicintai. Namun, itu tidak bertahan lama.
Hal yang mereka perjuangkan sedemikian susah, seakan terasa hambar setelah mereka dapat.
Hati mereka mulai terasa biasa saja. Tidak ada lagi perasaan berbunga-bunga dan menghipnotis kala memandangi satu sama lain. Cinta mereka seolah memudar, sesuatu yang tidak pernah sedikit pun dapat mereka bayangkan.
Dan saat kebahagiaan itu memudar, penyesalan-penyesalan dulu mulai merangkak ke pikiran. Membuat mereka merasa gila, merasa takut, merasa paling berdosa.
Mereka berdoa dengan segala cara, berdoa agar cinta itu bisa kembali, bahagia itu bisa kembali. Agar mereka terlepas dari hantu-hantu dari orang-orang yang telah mereka bunuh pada hari itu. Agar dunia mereka kembali terang benderang setelah beberapa hari ini menggelap.
Perkelahian kecil mulai terjadi, napsu sudah tidak sehebat dulu. Semua terasa hambar. Luna yang merupakan anak orang kaya, juga Rama pemilik rumah kotor nan miskin ini, perbedaan mereka yang sebelumnya tertutup oleh kemurnian cinta kini sangat terlihat.
Sikap orang kaya Luna mulai terlihat. Dia merasa jijik terkurung di dunia yang jauh dan terpencil ini. Dia mulai memaki-maki Rama karena telah menculiknya, Rama yang juga marah ikut memaki dan memukul. Ketika dipukul, Luna akan menangis tersedu-sedu, lalu bersikap seolah dia adalah korban dari penyiksaan dunia. Dari kekejaman takdir yang tiada henti membawanya kepada kehancuran.
Uang mulai habis, mereka semakin kurus. Tetangga sekitar satu pun tak ada yang peduli. Pernah suatu ketika, Luna berlari entah ke mana. Dia tak tahan lagi, dia ingin pergi. Rama hanya mendiamkan kalau Luna bertindak seperti itu. Dia tidak terlalu peduli.
Hingga kemudian, ketika malam tiba Luna sadar kalau dia tidak akan bisa kembali. Dia sudah pergi ke dunia lain, dunia yang tidak bisa menariknya, semua sudah terjadi.
Kalau sudah seperti itu, dia akan berjalan sempoyongan ke rumah. Sesekali berlari kalau tenaganya sudah cukup. Sesampai di rumah, dia menangis lagi.
***
Tiga bulan semenjak penembakan massal di sebuah gedung pernikahan. Akhirnya polisi menemukan si Pelaku Kejahatan. Karena semalam, si mempelai wanita yang diketahui kabur ditemukan meninggal bunuh diri di sebuah desa, bersama dengan seorang pria di sampingnya, serta sebuah pistol yang terkapar di antara mereka.
***
Written by Orekasa
KAMU SEDANG MEMBACA
kuas; Kuis dan Tugas Kepenulisan
Non-FictionTidak hanya berupa materi, Kelas Kepenulisan juga memberikan tugas di setiap akhir pertemuan. Bukan sekadar menyampaikan materi, menyimak, lalu setelah itu dibiarkan menguap begitu saja. Guna mengasah kemampuan dan pemahaman setiap member, maka dibe...