08.0 Entah Sejak Kapan, Kita Sudah Berteman

1.8K 516 22
                                    

Ayu datang ke sekolah dan menunjukkan keceriaan yang seperti biasanya. Tidak ada seorang pun di kelas yang tahu soal insiden beberapa hari lalu selain Sonya.

Sonya masih bisa melihat sedikit kemurungan di balik senyuman Ayu, tapi Sonya tahu kalau Ayu lebih kuat daripada kelihatannya. Sonya mengabaikan itu dan tidak membahas soal kejadian kemarin sama sekali.

Di tengah-tengah pelajaran, Ayu menyadari sesuatu. "Sonya, itu penghapus yang dulu kuberikan padamu?" tanya Ayu tiba-tiba ketika melihat sebuah penghapus yang familiar di matanya. Sonya tertawa malu.

"Iya," jawabnya singkat.

"Wah, aku senang kamu masih menyimpannya," ucap Ayu sambil menyeringai senang.

Penghapus itu memang jarang dipakai oleh Sonya, karena itulah penghapus tersebut masih awet. Sonya merasa lega karena hanya dengan penghapus ini saja Ayu bisa kembali ceria, walau cuma sebentar. Sonya bersyukur hari ini dia menggunakan penghapus itu.

Sepulang sekolah, Harris mengajak Ayu untuk makan bakso bersama. Ajakan ini tidak biasa, karena biasanya mereka langsung pulang setiap selesai sekolah. Sonya pun pamit meninggalkan mereka berdua.

Mereka makan di gerobak bakso Mang Udin yang berada di belakang sekolah. Bakso Mang Udin cukup terkenal di daerah sekolah Ayu. Gerobak itu diparkirkan di sebelah gerbang belakang sekolah, dan dia hanya menyediakan beberapa kursi plastik untuk diduduki pelanggannya, sehingga banyak siswa yang mencari tempat di mana pun mereka bisa duduk. Seperti biasanya, bakso itu laris dan banyak yang makan di sana. Ayu dan Harris memesan dua mangkok bakso, lalu memilih duduk di trotoar, tepat di sebelah parkiran motor yang memakan jalan raya.

"Ada yang mau kamu bicarakan?" tanya Ayu langsung.

"Enggak ada, aku cuma mau makan bersamamu."

Mereka berdua pun makan dalam diam. Ayu merasa kalau suasana mereka cukup canggung. Ayu pun memikirkan apa yang sebaiknya ia katakan untuk mencairkan suasana. "Harris, sejak kapan kita sudah berteman, ya?"

"Entahlah, kita sudah berteman sepanjang yang bisa kuingat," jawab Harris.

"Kenapa Harris mau berteman denganku?"

"Kenapa aku tidak mau?" balas Harris sambil menatap Ayu. Ayu pun balas menatap Harris. "Kamu tidak mau berteman denganku?"

"Enggak! Aku sangat senang berteman dengan Harris, kok!" jawab Ayu cepat, panik karena ditanyai seperti itu. "Aku cuma penasaran saja," tambahnya.

Harris mendengus, kemudian tersenyum kecil. "Gak perlu memikirkan hal-hal remeh seperti itu, yang penting aku adalah temanmu sekarang," ucap Harris lembut.

Keheningan kembali melanda mereka. Ayu berpikir keras, apa yang harus ia katakan selanjutnya, tapi kemudian Harris lebih dulu berbicara.

"Kamu tahu tidak alasanku pindah?" tanyanya tiba-tiba.

"Enggak, kamu gak pernah cerita."

"Sekarang, aku sudah tidak apa-apa untuk bercerita, kok," ucap Harris, membuat Ayu penasaran. Harris menyeruput sisa kuahnya, lalu meletakkan mangkuk kosong itu di sampingnya. "Sebelum ke sini, aku tinggal di Jakarta."

"Jakarta?" ulang Ayu, sedikit terkejut. Ayu tidak mengerti, mengapa Harris pindah dari ibukota ke kota kecil seperti ini.

"Waktu SD, aku sempat mengalami kecelakaan besar. Kaki kananku yang terkena dampaknya paling parah, dan aku sempat menjalani rehabilitasi dalam waktu yang cukup lama," mulainya. Harris menarik celana pendeknya sedikit, lalu meperlihatkan paha kanannya yang memiliki jahitan besar. Ayu menutup mulut dengan salah satu tangannya yang tidak memegang mangkuk. "Pasca kecelakaan, aku merasakan orang-orang memandangku dengan berbeda.

Blitheful BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang