02.0 Menular

4.4K 766 29
                                    


"Jangan lupa sebelum pulang beli tahu, ya!" peringat ibu Ayu sambil mengantar anaknya ke depan rumah.

"Iya, Ma," jawab Ayu seraya pamit pergi.

Seperti biasanya, Ayu berangkat bersama dengan Harris. Akan tetapi, hari ini Harris menunggunya di depan pagar dengan sepedanya.

"Tumben kamu bawa sepeda?" tanya Ayu.

"Iya, naiklah," perintah Harris sambil menguatkan pijakannya di tanah. Tidak bertanya lebih banyak, Ayu pun menaiki kursi boncengan sepeda Harris. Harris tampak keberatan mengayuh sepedanya, tetapi dia tidak menunjukkannya. "Bisa-bisanya terjatuh sampai berdarah-darah di usia segini."

"Hehehe, kamu dengar soal itu?" ucap Ayu sambil tersipu malu.

Harris sudah bagaikan kakak bagi Ayu. Dia selalu mengurus Ayu seperti adiknya sendiri.

Harris memiliki seorang adik yang berusia enam tahun, tetapi Ayu jarang melihat Harris bersama adiknya. Adik Harris lebih sering bersama orangtuanya. Kadang Ayu bertanya-tanya, bagaimana hubungan Harris dengan keluarganya? Mengapa ia jarang berkumpul dengan keluarganya? Meski terpikirkan, pada akhirnya Ayu tidak pernah menanyakannya.

Ayu sudah tinggal di rumahnya sejak ia lahir, tetapi Harris baru saja pindah ke sebelah rumah Ayu ketika Ayu masih kelas 5 SD. Saat itu, Harris jauh lebih suram daripada sekarang. Tanpa Ayu sadari, Ayu-lah orang yang telah mengubah Harris sedikit demi sedikit.

Ayu menceritakan kejadian kemarin pada Harris secara detil. Pemuda itu tidak banyak menanggapi, tetapi Ayu yakin bahwa Harris menyimaknya dengan seksama.

Sesampainya di sekolah, Ayu langsung pergi ke kelasnya meninggalkan Harris yang sedang memarkirkan sepeda. Ayu tidak sabar untuk menceritakan apa yang terjadi kemarin pada Sonya.

"Sonya, dengar deh!" seru Ayu sambil menarik kursinya. Sonya selalu datang lebih pagi dari Ayu. Dia biasanya sedang belajar atau mengerjakan PR ketika Ayu melihatnya. Ayu pun duduk dan melepaskan tasnya dengan cepat, membuat dirinya senyaman mungkin di atas tempat duduknya. "Si Pembagi Kebahagiaan itu nyata!"

Sonya mendengus, lalu dia mengangkat kepalanya dan menatap Ayu. "Bagaimana mungkin?"

"Aku melihatnya! Dia adalah seorang anak lelaki yang sepertinya seumuran dengan kita, dan dia memakai topeng beruang yang sangat besar di kepalanya!"

Bel sekolah berdering. Sonya pun menutup buku PR-nya dan menyiapkan buku pelajaran untuk jam pertama. "Kenapa kamu yakin itu si Pembagi Kebahagiaan?" tanya Sonya sambil membereskan mejanya.

"Karena dia membawa-bawa balon bersamanya!"

"Ayu, itu bisa dilakukan siapa saja," sanggah Sonya lagi. Meski tidak dikatakan, terlihat jelas jika Sonya sama sekali tidak percaya dengan legenda perkotaan itu.

Ayu tidak tahu apa yang bisa membuktikan pada Sonya kalau orang yang ia temui adalah si Pembagi Kebahagiaan. Ayu hanya tahu pasti, kalau orang itu adalah si Pembagi Kebahagiaan. Entah bagaimana, dia hanya mengetahuinya, itu saja.

Hari itu, Ayu menghabiskan lebih banyak waktunya untuk melamun. Pak Irawan menyadarinya dan terus menegurnya.

"Ayudhya, coba kerjakan soal nomor lima di papan!" perintahnya. Ayu maju ke depan tanpa persiapan apa pun, dan benar saja, dia tidak bisa mengerjakannya. Pak Irawan pun memukul kepalanya dengan pelan menggunakan buku. "Makanya jangan bengong terus!"

"Iya, Pak Awan," jawab Ayu sambil tertawa.

Pak Irawan adalah guru favorit setiap siswa. Dia ramah pada tiap siswa, dan wajahnya juga rupawan. Dia mengenakan kacamata kotak berbingkai tipis. Rambutnya berwarna cokelat dan disisir ke belakang agar poninya tidak mengganggu matanya. Pria berusia tiga puluh tiga tahun itu seolah tidak memiliki cela. Dia pintar, menarik, dan baik hati. Karena itulah diam-diam dia tidak disukai oleh para murid, terutama murid laki-laki. Karena Pak Irawan diidolakan oleh semua murid perempuan.

Blitheful BalloonsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang