Merancang mimpi di tengah malam bersama tiupan angin yang mengenai sekujur tubuh-- bisa membuat seseorang penuh akan harapan hidup bahagia yang abadi. Bukannya manusia begitu rakus? Menginginkan semua sesuai dengan pengendalian kedua tangannya tanpa berfikir yang lain. Ya, harusnya manusia mempunyai batasan dan mengerti akan posisinya yang berada di bawah kuasa.
Akan alur kehidupan, Hyena yang dulunya bisa merasakan betapa entengnya kedua kakinya yang nenompang beban tubuhnya sembari berlari-lari kecil dijalanan, namun apa... Tuhan mengambil semuanya. Terkadang Hyena menyalahkan semuanya kepada yang kuasa, ah ia sedikit membangkang. Tidak, Hyena hanya terus bertanya kenapa disaat Tuhan mengambil tugas kedua kakinya tanpa mendatanginya terlebih dulu, harusnya Tuhan memberinya sebuah penawaran bukan? Semua memang terlihat begitu tidak adil untuknya.
Kedua kakinya beberapa tahun ini hanyalah menjadi pelengkap bagian tubuhnya saja. Kadang sedikit timbul rasa nyeri yang berujung kaku tidak dapat digerakkan. Beruntung sentuhan lembut dari pemilik tangan ini membuatnya merasa baik-baik saja. Jimin menarik selimut tebal nan nyaman itu lalu menyelimuti kedua kaki Hyena dengan penuh perhatian.
Hyena menelan ludahnya samar, tubuhnya sedikit tegang menerima semua perlakuan Jimin saat ini-- sedikit membuat gerakan diranjang karena tubuh Jimin yang mulai juga mengisi sisi kosong disampingnya. Berbaring di sebelah Hyena, Jimin memberanikan diri untuk menghadap istrinya dengan posisi tubuhnya yang miring.
Mereka masih diam,
Saling menatap,
Hingga sebuah gerakan baru dimana Jimin semakin mendekati tubuh Hyena, membuat wajah mereka berada dalam jarak yang semakin dekat. Hembusan nafas bisa saling dirasakannya, begitu hangat tetapi penuh rasa ragu. "Kau belum mengantuk?" tanya Jimin mengawali pembicaraannya.
"Belum." Jawa Hyena dengan sedikit memberi gelengan dikepalanya.
Jimin tersenyum-- mengarahkan tangannya untuk dijadikannya bantalan kepalanya sendiri. Wajah mereka saat ini sejajar. Masih dalam keadaan yang hening, tetapi begitu nyaman. Hanya saling menantap satu sama lain seakan membuat didalam sana terasa begitu tenang, ya hati nya sedang berada di puncak kedamaian. Bukankah ini berlebihan? Barangkali mereka lalukan itu semua hanya berpura-pura tenang saja menghilangkan rasa kekhawatiran.
"Hyena...." panggil Jimin lirih.
"hm.....?"
Hyena menyembunyikan perasaan gemetarnya, ia terus menggigit bibirnya. Berusaha menghilangkan rasa canggungnya. Matanya terus memandang bibir tebal Jimin. Tidak, ia sama sekali tidak memiliki pikiran yang berlebihan hanya saja menunggu kalimat selanjutnya yang akan di keluarkan Jimin.
"Mau bercerita dulu sebelum tidur?" tawar Jimin.
"Boleh...."
Bibirnya begitu ragu untuk melanjutkan obrolan malam ini, Jimin terlihat memaksakan dirinya untuk memperlihatkan ketenangannya juga, "Kau boleh bercerita terlebih dahulu," ucap Jimin sembari memperlihatnya senyuman singkat dibibirnya.
"Aku bingung.....tanyakan saja tentang diriku."
"Tentang kedua kakimu.....?" tanya Jimin ragu, jelas ia takut jika membuat hati istrinya ini tersinggung.
Hyena masih diam, terlihat begitu terkejut akan pertanyaan yang keluar dari mulut Jimin. Kedua bola matanya menatap wajah Jimin namun terlihat begitu kosong. Barangkali Hyena menyembunyikan rasa tertekannya akan pertanyaan tersebut.
"Ma-maafkan aku, kau tidak perlu menjawabnya."
"Kecelakaan membuatku tidak bisa berjalan....." Jawab Hyena, bibirnya gemetar menahan rasa marah di hatinya. Jika di ingatkan tentang kejadian lama itu memang begitu sakit. Seandainya ia bisa mengulangi semuanya, maka hari dimana ia akan mengalami peristiwa mengerikan tersebut, ia akan memilih diam saja dikamarnya. Dan mungkin saja saat ini ia masih bisa berjalan bahkan berlari dengan kakinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Married
Non-Fiction[SLOW UPDATE] Park Hyena, wanita yang hanya bisa duduk di kursi roda harus membuka lembaran hidup barunya bersama lelaki yang dipilih kedua orangtuannya untuk menjaganya. Ia harus menjalani kehidupan bersama Choi Jimin, yang jauh lebih tak terduga d...