Seandainya saja bisa, Hyena tentu tidak menyukai keterdiamannya selama ini. Ia juga ingin melakukan tugasnya sebagai seorang istri, namun semua itu tidak akan pernah bisa dilakukannya selagi ia hanya bisa duduk di kursi roda-- membuat sarapan di pagi hari lalu tergesa-gesa menyiapkan pakaian kerja untuk suami, bukankah itu sangat manis untuk menjadi sebuah bayangan di kepalanya?
Lagi-lagi ia hanya diam di balik tubuh Jimin, melihat kesibukan suaminya yang sedang menyiapkan semuanya. Ia hanya bisa menyunggingkan senyuman di balik tubuh Jimin, ia tak tahu harus berkata apa. Bibirnya seakan terkunci rapat-rapat. Kedua mata yang tadinya tidak merasakan apapun, kini terasa memanas. Mungkin saja sudah berkaca-kaca, ia tahu kenapa dadanya begitu sesak saat ini.
"Ayo sarapan..." ajak Jimin setelah membalik badannya. Dua piring nasi goreng saat ini berada di tangannya. Jimin lalu menaruhnya di meja makan.
Hyena mencoba menghapus rasa sesaknya, bibirnya terangkat saat melihat senyum di wajah Jimin barusan. Suaminya benar-benar tulus membuatkan sarapan untuknya.
"Hyena kenapa kau hanya menatapnya, apa kau tidak menyukainya?" tanya Jimin
Mendapat pertanyaan itu, Hyena merasakan kembali hatinya begitu sesak sesuatu berkecamuh di dalamnya. "Mana mungkin aku tidak menyukainya Jim, aku sangat menyukai menu sarapan ini." memaksa menarik senyuman manis di bibirnya. Berpura-pura memang sudah menjadi hobinya akhir-akhir ini
Satu suapan harus berhenti, Jimin menatap dalam wajah istrinya. "Lalu kenapa kau tidak memakannya?"
Hyena tersenyum, "Aku suka melihatmu. Setiap kau mengunyah makanannya, sungguh Jim kau seperti anak kecil... sangat lucu." jawab Hyena menutupi keraguannya.
"Jangan mengada-ngada..." ujar Jimin terkekeh. Kembali memasukkan beberapa sendok makanan ke mulutnya.
Mereka berdua melanjutkan sarapannya, membutuhkan waktu kurang lebih 10 menit hingga mereka berdua memilih meninggalakan ruang makan tersebut.
....Hyena menarik nafas, menunggu Jimin yang masih bersiap-siap berangkat bekerja. Menatap pintu kamarnya yang masih tertutup rapat-- seutas senyuman menghiasi wajahnya. Sebuah senyum hambar yang sulit untuk di artikan, Hyena getir akan semua yang berlau ini, ia tahu pada dasarnya manusia mempunyai banyak persona. Menyimpulkan Jimin sebagai orang baik, awalnya ia sangat meragukannya.
Ya, beberapa kali melihat sisi ranjang yang kosong di setiap malamnya tentu membuat banyak kecurigaan di kepala Hyena. Ini semua wajar, sebagai seorang istri pasti rasa seperti itu pernah di rasakan oleh semua orang. Akan tetapi, Hyena yakin Jimin bukanlah orang yang seperti di luar sana. Hanya berharap, semua kepercayaannya ini tidak pernah hancur karena sebuah fakta yang akan dikeluarkan alam. Hyena membenci itu jika saja sampai terjadi.
Tangannya terus mengusap kalung pemberian Jimin yang bertengger apik di lehernya, Jim jangan pernah membuat hatiku ini tenggelam, kau sudah menyelamatkan hatiku dengan sikap baikmu itu...
Hyena tersenyum lebar tatkala pintu kamarnya terbuka, menampilkan sosok lelaki dengan setelan jas hitam begitu pas membalut dada bidangnya. Belum lagi tas kerja yang di genggam di tangan kirinya, membuat Jimin terlihat sempurna sebagai pemimpin perusahaan.
"Jim masih ada yang kurang." ucap Hyena saat Jimin berhenti tepat di depannya.
Jimin tersenyum, "Mulai sekarang kau yang akan memasangnya." jawab Jimin sembari mengulurkan tangannya yang menggenggam sebuah dasi.
Satu langkah dari tungkai Jimin-- membuat jarak mereka lebih dekat. Jimin menyondongkan tubuhnya hingga Hyena bisa memasang dasi untuknya dengan nyaman. Sudut bibirnya tertarik keatas, melihat betapa telatennya Hyena saat memasang dasi untuknya, mampu juga membuat Jimin bungkam bersama rasa aneh di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Truth Married
Non-Fiction[SLOW UPDATE] Park Hyena, wanita yang hanya bisa duduk di kursi roda harus membuka lembaran hidup barunya bersama lelaki yang dipilih kedua orangtuannya untuk menjaganya. Ia harus menjalani kehidupan bersama Choi Jimin, yang jauh lebih tak terduga d...