"Sumpah lu liat nih bulu gua berdiri semua." jerit Sanha kencang.
Lia merenggut, menepis hasta Sanha yang disodorkan tepat di depan wajahnya dengan sebal.
Kemudian pandangan gadis itu beralih pada Haechan, mengabaikan Sanha yang masih misuh-misuh sendiri. "Jangan-jangan korban penculikan?"
Haechan mengatupkan kedua bibir, terlihat menimbang pilihan dalam kepala.
"Kita harus tolongin."
Ultimatum Haechan membuat Sanha menyumpah pelan. Bukannya apa-apa, ia hanya tidak ingin berurusan dengan hal-hal yang dapat membahayakan nyawa.
Seram, Sanha takut dia ikut diculik juga.
Namun keputusan Haechan tidak bisa diganggu gugat. Pemuda itu sangat keras kepala jika sudah memiliki suatu tujuan.
Dari jarak sedekat ini Haechan dapat melihat wajah gadis itu. Wajahnya semerah tomat, menangis dan berteriak dengan mulut yang tertutup sapu tangan. Binar harapan yang menyala pada mata dapat Haechan rasakan ketika pandangan keduanya bertemu.
"Mbak tenang ya, kita pasti tolong." Haechan membungkuk, mendekatkan wajah kearah kaca. "Mbak? Bisa buka pintunya dari dalem?"
Perempuan itu menggeleng pelan, menatap lengannya yang terikat di handle grip.
"Mana bisa, Haechan. Itu tangannya diiket." seru Lia ketika menyadari temannya itu terlihat kebingungan memahami apa yang coba perempuan itu katakan.
"Haechan."
Haechan menoleh ketika mendengar suara Sanha yang bergetar, berbisik memanggil namanya. Air muka cowok jangkung itu terlihat tegang, seperti orang yang menahan buang air besar.
"Dih lu ngapa?"
Sanha mengangkat telunjuk, menunjuk tepat ke belakang Sanha dan Lia.
"Kalian ngapain di mobil gua?"