Haechan merentangkan tangan, mendorong kedua temannya agar tetap di belakang tubuhnya dengan perlahan. Sorot mata jenaka itu kini terlihat memincing, berada pada mode waspada.
"Gua mau kalian lari ke mobil kalo udah bahaya, bisa kan?"
Lia meringis pelan, membayangkan bahwa mereka tengah berharapan dengan seorang psikopat gila membuat fantasi mengerikan dalam kepala semakin liar saja.
Gadis itu menyambar pergelangan tangan Sanha, dengan erat memasukan kepala ke dalam ketiak pemuda jangkung itu.
"San, sembunyiin Lia dong, San. Cepet, San."
Sanha menahan jeritan ketika rambut Lia menggelitik ketiaknya. Cowok itu segera mendorong wajah si gadis dengan telapak tangan, "heh geli ketek gua jangan lu ndusel, emangnya lu kambing?"
"Kambing mana ada yang ndusel."
"Ada, elu kan."
Mendengar cemoohan dari Sanha lantas membuat Lia mencebikan bibir. Gadis itu mengidahkan ujaran protes dari sahabatnya, terus mencoba masuk ke dalam rangkulan Sanha.
"Li geli."
"Mbee mbee mbee."
Sanha menjitak kepala Lia, membuat gadis itu mundur beberapa langkah. "Ye becanda aja lu, Li. Gigit nih."
"Bulldog." Lia membalas tak kalah sengit.
Rasanya Haechan ingin menyumpal mulut kedua sahabatnya itu karena demi saus tartar, mereka sedang tidak berada di dalam situasi dapat bergurau saat ini.
Dengan berani Haechan maju selangkah, menatap pemuda dengan tinggi dengan kulit putih pucat itu dengan tajam. "Cewek di dalem butuh pertolongan, jadi kita bantu."
Pemuda itu nampak kebingungan. Jemarinya bergerak, menggaruk kepala dengan alis yang bertaut. "Maksudnya?"
"Kita gak tau ada masalah apa sama cewek itu, tapi bisa diomongin baik-baik kㅡ"
Sebelum Haechan menyelesaikan perkataan, buru-buru ujarannya dipotong oleh pemuda itu.
"Cewek apa?"
"Itu yang di belakang." Sanha berujar, menunjuk jok belakang dengan telunjuk.
"Bercanda ya? Gua sendirian, di belakang sana gak ada siapa-siapa."