Hari telah berganti, pukul enam pagi Dewa sudah siap dengan baju kantornya. Sementara Salsa terlihat tengah membuat kopi untuk sang suami. Selesai menyeduh kopi, wanita berambut panjang itu berjalan menghampiri Dewa yang tengah sibuk memasang dasi di lehernya. Salsa menyodorkan secangkir kopi yang masih mengebul.
"Kopinya, Om," ucap Salsa.
"Terima kasih." Dewa menerima kopi tersebut.
Perlahan Dewa mulai menyeruput kopi panas tersebut, tetapi belum sempat meneguknya. Tiba-tiba Dewa menyemburkan kopi itu, Salsa yang berdiri di sebelahnya terlonjak kaget. Wanita dengan balutan kaos lengan pendek dan celana di atas lutut itu merasa heran. Apakah kopi yang Salsa buat tidak enak, sampai-sampai Dewa menyemburkannya.
"Kopinya tidak enak ya, Om?" tanya Salsa.
"Salsa, kamu buat kopi pakek apa sih. Kok rasanya asin," ujar Dewa dengan menahan amarahnya. Pria berjas hitam itu mengambil tisu untuk mengelap mulutnya.
Salsa terdiam sejenak. "Kalau asin, berarti itu rasa garam, Om."
"Sejak kapan buat kopi pake garam?!" tanya Dewa dengan suara yang sedikit tinggi.
Salsa hanya tersenyum. "Aku pikir tadi gula, Om. Nggak tahunya garam."
"Huft. Sabar, Dewa ini adalah pilihanmu. Mau tidak mau kamu harus menerima konsekuensinya karena menikahi gadis polos dan konyol seperti dia," gumam Dewa seraya mengelus dadanya.
"Dada, Om sakit ya." Dengan polosnya Salsa memegang dada bidang suaminya itu. Bahkan Salsa menempelkan telinganya di depan dada Dewa, terdengar jelas degup jantung pria berlesung pipi itu.
"Kok jantung, Om .... "
"Minggir, aku bisa telat. Dan ini semua gara-gara kamu, buat kopi aja nggak bisa." Dewa mendorong pelan tubuh mungil istrinya itu. Jujur, ia merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya saat berdekatan dengan sang istri.
Salsa hanya diam dengan terus memperhatikan sang suami. Sementara itu Dewa tengah sibuk memakai sepatutnya, pria berlesung pipi itu akan berangkat ke kantor lebih awal, lantaran pagi ini akan ada meeting. Dan mungkin untuk hari ini Dewa akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar.
"Aku berangkat sekarang ya, ingat jangan keluar tanpa meminta izin dariku," ucap Dewa seraya merapikan jasnya.
"Iya, Om," sahut Salsa.
"Aku pergi dulu." Dewa mencium kening Salsa.
"Iya, Om hati-hati di jalan." Tak lupa Salsa mencium punggung tangan suaminya itu.
Dewa bergegas keluar dari apartemennya itu, setelah sang suami pergi. Kali ini tinggal Salsa bersiap-siap untuk pergi. Terpaksa ia tidak menceritakan tentang masalah almarhumah ibunya. Salsa rajut kalau hal itu akan menjadi masalah untuk dirinya dan juga sang suami. Selesai bersiap-siap wanita dengan balutan kemeja berwarna putih serta rok hitam selutut bergegas untuk pergi.
Salsa kini sudah berada di jalan raya, ia tengah berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi yang ia pesan. Cukup lama Salsa menunggu, sesekali ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya itu. Dan jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit.
***
Mobil BMW i8 berwarna putih berhenti di pelataran kantor. Selang beberapa menit, pemilik mobil tersebut yang tak lain adalah Dewa bergegas keluar. Sebelum melangkahkan kakinya, Dewa terlebih dahulu merapikan jasnya. Selepas itu pria berlesung pipi itu beranjak masuk ke dalam gedung bertingkat yang megah itu. Banyak karyawan yang menyapanya, sementara Dewa hanya tersenyum dan mengangguk.
"Maaf, Tuan. Tuan Rendra sudah menunggu anda di ruang meeting," ucap Winda salah satu pegawai di kantor Dewa.
"Oh, iya. Cepat sekali, ya sudah kita langsung ke ruang meeting." Dewa mempercepat langkahnya dengan diikuti oleh Winda.