بسم الله الرحم الرحيم
04.30 WIB
Dari sebuah rumah bercat putih dengan plang 'Kost-an putri Bu Halimah' di depan pagar hitam setinggi dada orang dewasa itu, keluar seorang gadis dari salah satu kamar dengan menggunakan hoodie berwarna hitam-merah.
Cuaca dingin akibat hujan yang turun semalam tak dirasakannya sama sekali. Langkahnya ringan melewati beberapa kamar kost lain yang mungkin penghuninya belum bangun, terlihat dari lampu kamar yang masih redup.
Hembusan nafas kasar terdengar saat ia berhenti di depan pagar yang masih tertutup dan di gembok pemiliknya, bu Halimah. Hari ini berarti dia harus melompat lagi.
Tapi sebelum pergi, gadis itu mengedarkan pandangannya, menyusuri setiap sudut halaman area kostnya. Angin berserta hujan semalam membuat pohon-pohon banyak menggugurkan daunnya, membuat tanah yang sebagian dipenuhi rumput itu terlihat berantakan.
Menyapu halaman sebelum berangkat bukan hal yang akan membuatnya didepak dari pekerjaan. Itulah yang dia lakukan sekarang, membersihkan halaman sebelum melanjutkan perjalanan.
Selain karena tidak tahan akan kotor yang berlebihan, alasan lainnya adalah ini sebagai bentuk kecil dari rasa terimakasih gadis itu pada pasangan pasutri yang sudah membolehkannya hidup dirumah itu.
Setelah dirasa cukup bersih, gadis itu langsung melanjutkan tujuannya keluar kamar sepagi ini. Hanya dengan satu kali panjatan dan satu kali loncatan, gadis itu sudah berhasil keluar dari area yang sudah menjadi tempat tinggalnya setahun ini.
Baru beberapa langkah, gadis itu kembali lagi. Mengeluarkan kertas notes dan pulpen yang selalu setia berada di kantung hoodie nya.
Bu Halimah maaf ya, loncat pagar lagi hari ini. Selamat pagi...
Jang Nara
Itu lah isi notes yang kini sudah tertempel di pagar.
Ara melanjutkan langkahnya menyusuri trotoar yang sebagian digenangi air. Sesekali ia dengan sengaja menginjak genangan itu hingga menciptakan cipratan kecil yang membuatnya tersenyum, namun hanya sesaat, wajahnya akan kembali datar seperti semula.
Kaki kecilnya berhenti didepan area makam, pandangan Ara lurus kedepan menatap lamat-lamat salah satu nisan yang bertuliskan "INDAH WAHYUNI".
"Hampir dua tahun nek..." gumamnya, ia tak berniat mendekat.
Hampir satu jam berlalu, tetesan keringat dipelipis yang membangunkan Ara, tanpa sadar, ia tidur dengan posisi berdiri tegak selama itu. Hembusan nafas kasar berkali-kali ia keluarkan.
"Nenek, bahkan Ara cuma bisa tidur dengan gini, dan itu juga masih mimpi buruk," keluhnya seraya mendekati makam nenek.
"Pagi neng," sapa bapak tua penjaga makam, yang hanya dibalas senyuman tipis oleh Ara.
Ara membersihkan rumput yang mulai tumbuh tanpa mengalihkan tatapannya dari batu nisan sang nenek. Tangannya hanya meraba-raba mencari sesuatu yang tumbuh atau daun yang terjatuh disana.
"Nek, Ara capek," ia duduk sila sembarangan, tak peduli mungkin celananya yang akan kotor.
"Kata nenek Allah baik, Allah adil, kenapa Allah ambil nenek yang disukai banyak orang dan biarin Ara hidup padahal nggak ada satupun orang yang suka sama Ara," suaranya bergetar saat mengatakannya, tapi ia tak menangis, Ara terlalu lelah untuk terus menangisi nasib.
"Nenek, boleh ya Ara nyusul nenek. Nanti kalau kita ketemu nenek jangan marah sama Ara, Ara cuma mau sama nenek. Kenapa Allah jahat nek, kenapa nggak bikin Ara aja yang mati lebih dulu," ucapnya lemah, namun penuh penekanan.
Ara tak tahu kalau semua keluhannya terdengar hingga beberapa petak makam, yang membuat seorang laki-laki berjaket kulit dan topi hitam memperhatikannya beberapa saat sampai hujan deras turun tanpa aba-aba. Pria itu segera berlari mencari tempat berteduh.
"Neng, berteduh sini. Jangan hujan-hujanan, nanti sakit neng!!" Panggil bapak penjaga dari gubuk kecil yang berada di area makam tersebut. Namun tak ada balasan apapun dari Ara, ia masih tenang ditempatnya.
"NENG!! AYO SINI BURUAN, HUJANNYA MAKIN DERAS, NENEK NGGAK SUKA LIAT ENENG SAKIT!!" teriaknya lagi hingga ia terbatuk-batuk.
"Pelan-pelan pak," ucap pria itu dengan tangan menepuk-nepuk pelan punggung bapak penjaga.
"Maaf pak Didin," ucap Ara saat sudah didepan gubuk. Ara melirik sebentar orang disebelah pak Didin, "bawa mobil?" Tanyanya.
"Heh?"
"Saya bawa payung," Ara mengeluarkan payung dari dalam tasnya, melihat itu pak Didin hanya geleng-geleng kepala, sedangkan pria itu manatap Ara tak percaya.
Ara menyerahkan payung hitam miliknya langsung ke tangan pria itu dan pergi melanjutkan perjalanannya di tengah derasnya hujan.
"Araaaa... Jangan hujan-hujan neng!!!" Teriak pak Didin yang hanya dibalas lambaian oleh Ara.
***
Hujan sudah reda dan Ara kini berada di halte yang mulai ramai dengan orang-orang yang menunggu bus karena akan berangkat kerja.Beberapa orang diantara mereka menatap aneh ke arah Ara yang bajunya telah basah kuyup, tapi yang ditatap seakan tidak peduli, ia memejamkan mata dan menikmati hembusan angin yang cukup dingan.
Ara, apa yang mau lo lakuin pagi ini? Tanyanya dalam hati.
seperti biasa, bayangan kematian sang nenek membuatnya kembali membuka mata. Ia tak berani memejamkan mata lebih lama.
_________________
Bismillah... Mudah²an bisa selesai 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
ARABIAN (Faith)
Spiritual//FOLLOW SEBELUM BACA!!!// Jika ditanya soal hafal, ia sudah menyelesaikannya hingga 30 juz dalam Al Qur'an. Bila ditanya tentang kajian, itu adalah kegiatan rutinnya. Namun semua itu hilang begitu saja sejak kepergian sang nenek. Kerasnya hidup se...