09. Why?

147 30 8
                                    

Haechan belum juga gerak, dan gue masih nangis sambil genggam tangan dia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Haechan belum juga gerak, dan gue masih nangis sambil genggam tangan dia. Gue cape nangis, tapi ini nggak mau berhenti dari tadi. Segitu sedihnya gue, bayangkan!

"Chan..."

Gue nundukin kepala gue.

"Ssstt..."

Tiba-tiba ada tangan yang ngelus pucuk kepala gue. Gue otomatis mendongak, mata gue langsung membulat.

"Chan! Udah bangun? Bukannya koma?"

"Koma apaan sih ngaco." Haechan lalu tertawa geli setelah dengar ucapan gue.

"Ih... terus, kok bisa?"

"Kok nya dibuang" Bisa-bisanya bercanda di saat hati gue dag dig dug nggak karuan.

"Chan, serius. Lo nggak kenapa-kenapa?"

Dia menarik tipis senyumnya, nyaris nggak terlihat. "Than, aneh nggak sih. Setelah sebelas tahun kenal, sekarang cara ngomongmu beda banget."

"Beda gimana?" gue menaikan salah satu alis gue.

"Kamu dulu nggak pernah ngomong pakai lo-gue." balasnya.

Untuk sejenak gue terdiam mencoba memahami kata-kata Haechan barusan. Bisa-bisanya dia heran dengan perubahan gue ini. Seharusnya dia paham, bahkan kertas sekali dibuat lecek, nggak akan bisa seperti semula lagi.

Ternyata dia nggak cuma payah main sepeda, dia juga payah banget memahami hati gue.

Tapi gue berusaha tersenyum, gue nggak mau berdebat di keadaan seperti ini. Gue selalu berusaha jadi lebih dewasa dan nggak lagi kekanakan.

"Sekarang kan udah beda, hehe." jawab gue seadanya.

Haechan tiba-tiba meraih satu tangan gue.

"Thania—"

"Jadi lo udah baik-baik aja?" Gue menyelak ucapan dia.

Bukannya nggak bisa memaafkan, tapi salah nggak sih gue bersikap begini setelah luka yang dia buat? Tapi gue nggak mau munafik, meski gue begini, nggak mengurangi sedikit rasa di hati gue untuk dia. Bahkan dengar dia mau balapan aja gue segitu khawatir nya. Apalagi setelah melihat dia kecelakaan, gue nggak mau kehilangan dia.

Dia menatap gue dengan tatapan nanar, dia kayak mau ngomong sesuatu tapi tertahan sama pergerakan gue yang dengan tiba-tiba menjauhi tangannya dari gue.

Gue menundukkan kepala, tiba-tiba aja kepala gue sakit. Nyeri banget, mulut gue sampai nggak bisa bersuara untuk sekedar meringis. Bisa gue dengar Haechan seperti manggil nama gue, suaranya nggak begitu jelas. Nggak lama gue melihat sesuatu yang menetes pada tangan gue sendiri. Terlihat setetes merah pekat, mirip darah.

Sedetik setelah itu, gue merasa Haechan menangkup kedua pipi gue. Badan gue benar-benar kerasa lemas mendadak, dengan rasa sakit kepala yang nggak berkurang juga, malah semakin sakit. Mungkin rasanya kayak kepala kalian sengaja dilindas kereta, sakit bukan main. Sampai gue merasa tubuh gue akan segera roboh.

Aksa | HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang