two; photograph

7.4K 1.1K 329
                                    

"... tidak ada murid dibawah tujuh belas tahun yang diizinkan mendaftarkan nama mereka pada Kejuaraan Triwizard ini."

Riuh. Banyak bocah berisik yang menyuarakan protes. Padahal pernyataan barusan keluar dari Ministry of Magic langsung. Seorang Ex-Auror, Alastor Moody, bahkan sampai dilibatkan untuk menjaga keamanan perhelatan rutin ini.

"Hei, kau tak bisa ikut dong?"

Draco melirik singkat, "Tak mau juga."

"Dasar pemalas."

"Hey!"

"DIAAAM!"

Suara berat Dumbledore akhirnya menghentikan kericuhan yang sempat tercipta. Nasihat panjang Dumbledore mengiringi pembukaan Goblet of Fire ke depan publik. Semua murid menatap kagum. Api biru terlihat sangat keren diatas cawan besar itu, [name] sendiri sampai menarik senyum.

Lalu diliriknya Cedric, duduk di meja seberang. Memasang ekspresi serius seraya menatap objek di depan.

'Gila ini orang dari pinggir aja ganteng.'

Jiwa ambisius [name] seolah terbangun. Ia tetiba merasa harus berkata sesuatu pada pemuda itu, apa saja. Pokoknya minimal perasaan selama lima tahun ini harus ada perkembangan.

Cedric adalah pekerja keras. Jujur, telaten. Ramah terhadap semua orang. Manusia banget deh pokoknya. Mungkin itu yang [name] suka dari si pemuda, terlepas dari fisiknya yang memang menggoda.

"Cemen."

"Berisik."

Draco menyentil dahi [name], "Kau akan mengotori nama Slytherin kalau terus bertindak menjijikan seperti itu."

"Terus aku harus bagaimana?"

"Ih, bodoh." Draco memasang ekspresi jijik yang kentara. "Memang ya, mau sejenius apapun seorang manusia, giliran dilibatkan hal-hal soal rasa pasti langsung hilang logika."

"Nanti juga kau mengalaminya. Jangan bertingkah seperti robot."

"Meh."

[name] mulai merasakan salah satu penyakitnya kambuh. Overthinking.

Benar juga yang dikatakan Draco, apalagi Cedric menginjak tahun terakhir di Hogwarts. Setelah ia lulus, [name] mau apa? Membiarkan cinta pertama dan satu-satunya selama masa remaja itu pergi begitu saja adalah hal yang bodoh.

"Kudengar dia dekat dengan Cho."

Meskipun mulai dongkol, [name] tetap merespon perkataan kompor dari Draco. Cowok itu kayaknya senang membuat si putri Brookheimer menderita, buktinya setiap Cedric ada Draco selalu membicarakannya.

"Cho?"

"Iya. Cho Chang."

"Cho Chang?"

"Kau tuli juga ya?"

"Coba katakan dengan kecepatan lima kali lipat."

"...."

"Cho Chang Cho Chang Cho Chang Cho Chang Cho Chang Cho Chang Cho Chang Cho Chang Cho Cho Chang Cho Chang Cho-"

Draco membekap mulut [name] karena menarik perhatian orang sekitar.

"Bodoh! Orangnya barusan nengok kesini!"

Wajah [name] malah memerah karena menahan tawa, sementara Draco ikut mengeluarkan suara-suara aneh karena menahan tawa juga.

ೃ₊• ❞

"Itu apa?"

"Kamera, polaroid." [name] melirik raut penasaran Draco dengan perasaan aneh. "Jangan bilang kau tak tahu?"

"Memang tidak."

"Norak."

"Tch." Draco mendelik sinis. "Benda murahan seperti itu mana aku tahu, aku bukan Mudblood."

"YA YA TERSERAH." [name] mulai jengkel, diliriknya jam tangan yang melingkar pada pergelangan kanan

Satu Siang.

"Sial, aku ada kelas!

Setelah meneriakan hardikan terakhir pada Draco, [name] melanjutkan perjalanan. Daerah bukit dekat rumah Hagrid.

Niatnya membawa kamera memang ingin mengabadikan alam sekitar saja. Teringat saat tahun pertama di Hogwarts, [name] tak bosan berkeliling sekitar Kastil. Keren, tak pernah sekalipun masa kecilnya membayangkan belajar di tempat seperti ini.

Lalu pegunungan, sungai, padang rumput yang menghampar luas.

Saat kaki akan melangkah, [name] menemukan satu lagi pemandangan yang tak pernah ia lewatkan selama lima tahun belajar di Hogwarts.

Tanpa mengeluarkan ekspresi, kamera diangkat ke depan wajah. Membidik cepat, hasilnya langsung tercetak.

Sebelum melihat hasil potret, [name] berjalan agak jauh. Sembunyi, takut perbuatannya ada yang mengetahui.

 Sembunyi, takut perbuatannya ada yang mengetahui

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[name] menatap potret itu dengan ekspresi datar.

Kalau di dekatnya ada cermin, pasti pantulan dirinya sendiri itu memperlihatkan wajah yang memerah lucu. Debaran pada dadanya kian bertambah, dengusan geli terdengar sendiri.

Pintar mengatur ekspresi, kemampuan berguna yang dikuasai [name].

Buru-buru potret itu ia selipkan ke dalam buku yang selalu dibawa kemana-mana. Menghela nafas seraya mengatur emosi supaya tidak terlalu overwhelming karena pada dasarnya [name] baru saja melakukan hal yang cukup memalukan.

"Kau memotretku?"

handwritten. | cedric diggory Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang