Kelopak mata berhiaskan bulu mata lentik terbuka perlahan tatkala sinar matahari yang menyorot penuh wajahnya berhasil mengusiknya dari tidur nyenyaknya. Wanita berambut cokelat itu mengubah posisinya bersandar dikepala ranjang sebelum merenggangkan otot-otot yang sedikit pegal sambil mengusap lebar dengan mata terpejam.
Jennie memejamkan matanya kembali--enggan beranjak dari ranjang karena matanya terasa berat apalagi rasa pegal menyelimuti sekujur tubuhnya. Tapi sebelum itu sukses kembali ke alam mimpi, tiba-tiba suara tidak asing untuknya menyapa gendang telinga Jennie. Jennie mendesah kesal karena kegiatan tidurnya terusik kembali dan mau tidak mau gadis berambut cokelat tersebut mengulurkan tangan lentiknya mengikuti sumber suara. Jennie menggeser tombol hijau tanpa melihat nama yang tertera dilayar benda berbentuk persegi panjang itu.
"Ha--" Belum usai Jennie merampungkan ucapannya, mendadak sebuah suara nyaring dari seberang sana menyembur tanpa ijin dengan volume tinggi hingga Jennie meringis dan seketika menjauhkan ponselnya dari jangkauan telinganya. Tanpa melihat nama yang tercantum dipanggilan itu, Jennie seketika langsung mengetahui kalau si pemilik suara cempreng itu adalah seseorang yang telah menemaninya sejak empat tahun lalu.
"Jennifer! Sebelumnya gue udah bilang sama lo ratusan kali tapi kenapa lo nggak pernah dengerin gue, hah?! Mulut gue udah sampe berkerut gini lo masih tetap aja pengen gue omelin, ya?!"
Jennie menutup mulutnya saat menguap lebar-lebar dan mencari posisi ternyaman untuk kembali ke alam mimpi. "Mon, lo kenapa sih ngomel-ngomel nggak jelas kayak gini?! Ini masih pagi lho, ganggu ketentraman orang tidur aja!"
"Masih pagi? Lo udah gila, ya? Jangan-jangan lo masih tidur lagi? Jennifer, lo waras atau nggak sih sebenarnya? Bisa-bisanya jam tiga sore lo bilang pagi!"
"Apa?!" Jennie berteriak seraya terbangun dari posisi tidurnya bersamaan dengan kedua matanya terbuka dan seketika kedua bola matanya terbelalak dan ponselnya terjatuh disampingnya begitu saja ketika kedua tangannya digunakan untuk menutup mulutnya.
"G-gue ada di mana?" Jennie menelan ludahnya susah payah sembari mengedarkan netra cokelatnya ke segala penjuru kamar yang menonjolkan kesan maskulinitas dalam balutan warna abu-abu. Warna abu-abu serta furniture yang terlampau tertata rapi bukanlah ciri khas kamar Jennie yang kelewat berantakan.
"Jennie? Jen, lo mau bikin gue jadi bahan omelan, ya? Mereka bakalan ganti model buat pemotretan kalo lo nggak ke sini salama satu jam! Kalo lo masih mau gue urusin sebaiknya lo siap-siap sekarang, terus kirim lokasi lo biar gue jemput!"
Suara nyaring yang berasal dari benda berbentuk persegi panjang itu menarik Jennie yang sempat hanyut dalam pikirannya. Jennie mengusap wajahnya kasar sebelum meladeni lawan bicara dibalik ponselnya. Membuka room chat dengan Moni dan menuruti sesuai permintaan sang asisten. "Gue udah shareloc. Gue tunggu di depan. By the way thank you, Mon!" Tanpa mendengarkan respons asistennya lebih lanjut, Jennie mematikan sambungan teleponnya sepihak.
Jennie mematikan ponselnya sebelum memukuli kepalanya brutal dan berteriak histeris tatkala kepingan demi kepingan ingatannya terputar bagai kaset rusak dikepala. Jennie masih ingat dengan jelas kalau kemarin ia bersenang-senang di D&X Club and Bar bersama kedua sahabatnya. Tapi anehnya, kenapa bisa ia bertranformasi ke sebuah kamar berdominasi warna abu-abu yang tidak ada sedikitpun kesan feminimnya. Dan sialnya lagi, Jennie tidak tahu penyebab dirinya bisa terbangun disebuah ranjang berukuran king size mewah tersebut.
Mengingat itu, asumsi-asumsi buruk mulai bermunculan dibenaknya, hingga semua semakin menjadi ketika secara tidak sengajs netra cokelat Jennie terkunci pada pakaian yang dikenakannya kemarin malam sekarang tergeletak disamping pintu dan terdapat sepasang dalaman berwarna merah terang yang tidak asing bagi Jennie terbaring tidak jauh dari dress-nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh! My Doctor
Romance[Romantic Comedy] Sekuel Bad Girl and Good Boy PLEASE, DON'T COPY MY STORY!!! Amazing cover by @karasmara Usai mendapat luka dari sisa perpisahan orang-orang biasanya akan melewati sebuah fase dimana memilih menghindari sang pelaku dan menyembuhkan...