Bang Chan
𝐓𝐡𝐞 𝐛𝐫𝐢𝐝𝐠𝐞Malaikat, sepertinya itu kata yang tepat untuk mrnggambarkan seseorang seperti Chan. Tuhan mungkin dengan sengaja mempertemukan Chan dengan orang-orang disekitarnya yang perlu bantuan. Bukan hanya keperluan material, kadang seorang Chan punya peran lebih daripada itu.
Ia sebatang kara sejak masih belia. Orang tuanya terlibat kecelakaan kapal ditengah lautan sana. Apa yang ia lakukan selama bertahun-tahun adalah menunggu. Bermiliaran kali kaki tanpa asanya kembali lagi ke tempat yang sama, menatap lautan yang sesekali tenang atau berombak. Kadang air bewarna biru, di waktu lain bewarna jingga. Semuanya tergantung waktu kapan Chan mampir disana.
Ayahnya adalah musisi, banyak yang meliriknya saat kabar duka itu sampai ke telinga orang-orang. Semua harta peninggalan berpindah tuan, uang sebanyak itu Chan gunakan sebagian untuk berinvestasi, sebagian lagi ia simpan untuk keperluan nanti.
Tahun ke tahun, nama ayahnya mulai memudar di ingatan orang-orang. Tak ada lagi sorotan media, dan Chan hidup seperti masyarakat pada umumnya. Bukan sebagai BangChan Si anak musisi, tapi hanya Chan, Bang Chan.
Rumah tepi danau ini disebut-sebut adalah surganya. Masuk ke dalam bilik, ada banyak alat yang biasa ia gunakan untuk bermusik, membuat lagunya sendiri. Pepohonan rindang bahkan rerumputan hijau yang dipotong rapi adalah saksi bisu bahwa Chan adalah orang yang sangat peduli. Mereka tumbuh terawat, bunga-bunga berlomba menunjukkan pesona mereka pada semesta.
Ada kalanya bicara dengan tanaman jadi hal yang Chan lakukan disaat senggang. Tanpa konteks, hanya ingin saja. Chan juga suka bagaimana angin memberikan sentuhan lembut sementara maniknya tertuju pada langit biru berpadu untaian kapas putih berbentuk abstrak yang biasa disebut awan.
Biasanya akan ada banyak kupu-kupu atau lebah yang terbang lalu-lalang diatasnya, bumi dengan hijau menyegarkan jadi tempat ia berpijak. Saat putih mendominasi, Chan tak terlalu sering melakukan itu lagi. Ia lebih memilih minum coklat panas sambil duduk diperapian diruang tengah, atau mungkin mengaransemen lagu dengan bunyi khas dentingan lonceng membuat kesan musim dingin semakin terasa.
Tak banyak yang bisa diceritakan dari kisah Si Tertua ini. Hidupnya monoton, sekurang-kurangnya ia akan menghabiskan sepanjang waktu di studio. atau mungkin keluar untuk belanja kebutuhan hariannnya. Sampai saat ia bertemu dengan siswa sekolah menengah dengan sorot mata tanpa asa tengah menundukkan pandangan. Sudah dibilang Chan adalah orang yang sangat peduli, dan kalian pasti tahu kelanjutannya.
Satu hari diganti dengan hari lainnya, mungkin orang-orang mengira rumah Chan adalah tempat 'pembuangan' anak-anak tersesat kalau tak tahu kisah disebaliknya. Melihat perlahan-lahan bagaimana sorot mata tanpa asa itu kini mulai ditumbuhi sebuah harapan, Chan mengumpulkan lebih banyak lagi, memancing kupu-kupu yang tengah mencari serbuk sari dengan mengulurkan sebuah tanaman berbunga langsung pada mereka.
Tak begitu spesial, mungkin Chan hanya menyebutnya sebagai tempat bernaung, tapi tempat ini sepertinya punya arti lebih bagi penghuninya.
Mereka sebut ini rumah. Rumah yang sebenarnya.
"Felix, bagaimana kabar nenekmu?" Setiap harinya Chan akan menanyakan pertanyaan simpel, sekedar untuk mengetahui bagaimana perkembangan mental dan emosi mereka. Ah, baru-baru ini ia juga sudah ikut berpartisipasi dalam Blue Tree Project* karena kepeduliannya. Ada sebuah pohon yang berdiri tegak di halaman belakang. Beberapa hari lalu, Chan bersama yang lain menyulapnya jadi berwarna biru.
"Kabarnya membaik, seorang gadis yang tinggal tak jauh darisana katanya sering mengajak nenekku berbincang. Mereka seperti ibu dan anak, aku jadi tenang kalau begini."
KAMU SEDANG MEMBACA
prunus mume, straykids ✔
FanfictionI. 𝗞𝗮𝗹𝗲𝗶𝗱𝗼𝘀𝗸𝗼𝗽 𝗥𝗮𝘀𝗮 𝗶𝗶𝗶. 𝗮𝗻𝗼𝘁𝗵𝗲𝗿 𝗱𝗲𝗽𝗿𝗲𝘀𝘀𝗶𝘃𝗲 𝗲𝗽𝗶𝘀𝗼𝗱𝗲 he survive in winter, then leaving when spring comes. !¡ contains mature themes, including violence, that may cause distre...