Dua

1.9K 372 58
                                    

Marah.

Kesal.

Emosinya bercampur aduk, dalam tiga puluh menit setelah pria itu pergi dan meninggalkan emosi yang memuncak, Sakura hanya duduk di depan perapian, menatap pada api yang bergerak dan melahap habis potongan kayu menjadi debu hitam yang malang.

Bibirnya mengerucut kesal, hari di luar mulai gelap dan mendapati diri tidak bisa melampiaskan emosi pada siapapun membuat Sakura mengehentakkan kakinya dengan kesal pada tatanan kayu.

"Bagaimana bisa ada pria seperti itu? Astaga!" teriaknya kesal.

Sakura berdiri dan melepaskan mantel yang sejak tadi masih membalut tubuhnya, wanita itu mengeluarkan ponsel dan menatap pada layar dimana ruang obrolannya dengan Ino Yamanaka masih kosong. Dia menghela napas.

"Aku lapar." bisiknya pelan.

Wanita itu melangkah menuju dapur dan melihat pada isi kulkas yang tampak penuh, "Oh, wow. Resort ini sangat luar biasa. Bagaimana bisa mereka menyediakan bahan makanan sepenuh ini?" tanyanya bahagia.

Sakura mengeluarkan seloyang pizza beku dan membawanya pada oven kecil berwarna hitam di sudut. Wanita itu memanggang pizza dan membawanya menuju ruang tengah.

Tidak ada televisi atau hiburan apapun. Resort ini berguna bagi mereka yang memang ingin merasakan ketentraman. Sakura kembali duduk di depan perapian dengan seloyang pizza panas di depannya.

Wanita itu tersenyum bahagia begitu menggigit pizza dan diserbu berbagai rasa yang melebur satu di dalam mulutnya.

"Setidaknya, ada makanan untuk pengobat mood yang hancur." katanya bahagia tanpa sadar ada seseorang yang berdiri tepat di samping jendela kayu dan menatap dirinya.

...

Wanita adalah makhluk paling merepotkan di muka bumi. Uchiha Sasuke selalu merasa kesal dengan jeritan yang dilemparkan oleh makhluk berambut panjang dan memiliki kadar emosi yang berubah-ubah saat ia menyuntikkan apapun ke dalam tubuh mereka.

Nada menggoda yang dibuat-buat, kedipan nakal atau tawaran terbuka selalu ia terima begitu mendapati pasien yang datang ke kliniknya.

Bahkan tidak jarang dari mereka untuk sengaja melukai diri sendiri, membuatnya menahan rasa ingin meledak yang kuat di dalam otaknya keinginan untuk memaki yang mungkin akan ia lontarkan jika tidak mengingat harus menjaga kode etik yang ada. Sasuke selalu berpikir.

Andai makhluk bernama wanita tidak pernah ada di muka bumi ini.

Dia berpikir pasti bumi akan menjadi planet ternyaman dan tidak memiliki teriakan yang memekikkan telinga.

Sampai ia bertemu wanita itu.

Wanita yang mendengus kesal dengan kunjungannya, ah—tidak. Dia tidak bermaksud berkunjung, ia hanya ingin mengambil barangnya yang tertinggal. Pada satu hari kemarin Sasuke masih menempati vila yang sekarang di tempati wanita itu dan pindah pada vila lain yang berjarak satu kilometer.

Kenapa?

Naruto mengatakan ia harus pindah, bagaimanapun caranya. Karena resort mereka yang mulai ramai pengunjung dan membutuhkan banyak vila kosong.

Bagaimana dengan vila yang ia tempati sekarang?

Sejujurnya itu adalah vila pribadi keluarga Uzumaki yang memang tidak disewakan setiap tahunnya. Dan permintaan sewa yang membludak membuat Sasuke terpaksa menempati vila itu dengan tanpa biaya!

Sasuke bersandar pada dinding kayu dengan segelas kopi yang mengepul dan menatap pada luar jendela. Pada vila di ujung sana yang dari jendelanya tampak berpendar cahaya keperakan.

Matanya menatap pada pantulan wajahnya di cermin dan kembali memikirkan kejadian beberapa waktu lalu.

Di mana seharusnya wanita itu mengajaknya masuk dengan satu atau dua godaan seperti yang selama ini terjadi. Selumrahnya wanita jika ia menampakkan diri di depan mereka.

Tapi wanita itu malah marah, marah ia mengotori halaman rumahnya dengan rontokan salju dari sepatu bot hitam yang ia gunakan.

Sasuke tersenyum tipis dan meminum kopinya, lalu meletakkan cangkir itu di meja dan berjalan menuju pintu, mengambil mantel yang menggantung di samping pintu dan mengenakannya cepat.

Pria itu kini merasa penasaran.

Bukan sebuah kejahatan bukan untuk melihat wanita itu dalam jarak dekat dan melempar sindiran begitu mereka kembali bertemu lagi nanti?
Sepertinya wanita itu telah memancing sisi yang selama ini Sasuke tahan mati-matian.

...

Kedua bola mata Sakura perlahan terbuka, kicauan burung yang tidak pernah ia dengar di Tokyo kini terdengar begitu nyaring, wanita itu meregangkan tubuhnya secara perlahan dan membuka mata, menatap pada pantulan cahaya matahari yang melewati sela-sela papan kayu di atapnya. Sakura tersenyum tipis dan hendak menutupi wajahnya lagi dengan selimut sampai suara seseorang membuat gerakannya berhenti.

"Apa kau lebih suka menghabiskan waktu dengan bergelung di kasur?"

Sakura melebarkan mata dan menatap pada seorang wanita yang melipat tangannya di dada dan menatap dirinya. Sakura menggerutu kesal.

"Bisakah kau membiarkan kakiku untuk beristirahat, Ino?"

Ino memutar bola mata, dan mendekat. Duduk di samping ranjang Sakura dan menatap keluar jendela, "Setiap jamnya area ski akan terus semakin ramai. Apa kau tidak berminat untuk turun sekarang?"

"Aku lelah Ino."

"Maka ayam panggang tidak akan menjadi santapan makan malam kita."

Detik itu juga Sakura langsung bangun dan terduduk, rambut merah mudanya berantakan dan wanita itu menatap Ino dengan mulut terbuka, "A—ayam panggang?"

Ino menyeringai.

"Ino kau bercanda?" tanya Sakura kesal.

Ino berdiri dan merapatkan mantelnya, "Aku sudah memesan menu itu pada Hinata, sekarang bangun dan cepat pakai sepatu botmu jika tidak ingin mendapatkan ayam panggang yang gosong."

...

Takjub.

Sakura melebarkan bola matanya dan menatap pada puluhan orang yang asik berseluncur diatas es. Wajah-wajah gembira tampak terlihat pagi ini, acara berseluncur adalah impian bagi seluruh keluarga, wanita itu bahkan melihat seorang cucu yang mengajari kakeknya berselancar. Sakura tertawa pelan. Dia menatap Ino.

"Bagaimana dengan taruhan?" tanya Sakura.

Ino menyeringai, "Yang kalah harus menggoda dokter yang disediakan di resort ini."

Sakura memutar bola matanya dengan malas, "Taruhanmu selalu berputar dengan pria dan semacamnya. Bagaimana jika yang kalah menjadi budak dalam satu Minggu?"

Ino menyeringai, wanita itu telah menyondongkan tubuhnya dengan kedua tangan yang siap memegang tongkat. Bibirnya menyeringai, "Jangan sesali taruhanmu, pinky!" teriaknya kemudian meluncur mendahului Sakura.

Sakura mengumpat kesal lalu menyusul Ino, tubuhnya berbelok mengikuti medan es. Bibirnya terbuka dan berteriak setiap kali ia berhasil melewati pohon Pinus dan tidak menabraknya. Sakura tertawa, mempercepat laju seluncurnya dan menyeringai menatap pada tebing yang memiliki tingkat kecuraman tinggi. Ino berada di depannya. Sampai Sakura hendak melewati Ino. Tubuhnya menegang kala seseorang melewatinya dengan kecepatan luar biasa.

Membuat Sakura mematung dan di detik selanjutkan bola matanya melebar kala melihat tebing curang dan buntu. Jantungnya berpacu cepat kala kakinya tidak bisa mengerem, Sakura menjerit saat tubuhnya terbanting dan terseret, sampai tangannya ditarik dengan kuat.

Napasnya tersengal.

Sakura menatap Ino yang panik, mata birunya melebar dan netra hijau Sakura melihat seseorang menatap mereka datar tepat di belakang Ino.

Seseorang yang semalam menghancurkan teras rumahnya dengan salju.

...

Komen love dong di siniiii --->

Suka gak?

Doktor, my problem! ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang