Chapter 7

17 2 0
                                    

Dari semalam hatiku terus merasa kesal kala teringat kejadian itu. Ketika Hyena dengan malu-malu meminta Tri untuk mengenalkannya pada teman Taufik, membuat emosiku naik. Kondisi terparah yang dialami saat ini adalah aku kesal melihat Hyena. Jangankan untuk menyapa, melihatnya saja sudah kesal.

Astaga, kok gue gini amat ya?

"Dokter... Dokter.." Teriak seseorang saat kami semua sedang sarapan pagi.

Tanpa bicara, kami yang ada di ruang makan langsung keluar. Seorang remaja laki-laki dengan wajah cemasnya tepat berada di depan pintu. Tunggu dulu, jika aku tidak salah lihat, di telapak tangan pemuda itu seperti bercak darah yang mengering.

"Pak, tolong temenku pak. Kakinya putus pak. Tolong pak." Katanya cemas sambil menautkan kedua telapak tangan di depan wajahnya kepada Dicky yang memang tepat di hadapan pemuda itu.

Dicky yang mendengar itu langsung tersentak dan melihat kebelakang seolah mencari sesuatu. Tidak sengaja pandangan kami bertemu. Seolah menunggu respon, ia tetap melihatku. Aku menganggukkan kepala untuk memberikan sinyal bahwa kami harus segera bersiap.

"Tolong siapin emergency kit, plastik bersih, sama box isi es." Kataku kepada semuanya.

"Dicky, telepon pos. Tolong suruh ambulance ke sini secepatnya sama suruh mereka telepon rumah sakit rujukan." Ujarku.

"Masnya duduk sini dulu." Kataku kepada pemuda itu.

"Kejadiannya gimana?" tanyaku langsung.

"Kami kan lagi ngamplas kayu pake mesin. Terus temenku yang bagian motong kayu ngawur becanda dengen mesin kayunya. Nggak sengaja ke lepas mesin itu jatuh kena kakinya. Tolong temenku Dok." Pemuda itu mulai gelisah.

Tidak lama setelah itu, ambulance datang dengan Pak Dedi sebagai supirnya. Aku mengajak Dicky juga Hyena sebagai asisten untuk menangani pasien itu. Saat di ambulance ku laporkan semua yang diceritakan oleh pemuda ini ke Pak Dedi. Beliau juga sudah menghubungi rumah sakit rujukan dan beruntungnya ada dokter spesialis orthopedic yang tersedia hari ini.

Kami sampai di pabrik tempat kejadian. Dicky juga Pak Dedy menurunkan brankar dan aku bersama Hyena segera mendatangi pasien itu. Darah terus mengalir dari pergelangan kaki yang sudah ditutup menggunakan kain oleh pegawai disini. Aku dan Dicky menangani perdarahan sementara Hyena menangani bagian telapak kaki yang teramputasi. Pak Dedi sendiri mengumpulkan informasi mengenai kejadian dan data diri pasien.

"Pak, pak, bisa dengar saya pak." Aku mencoba untuk berkomunikasi dengan pasien.

"Sakit dokter." Hanya itu Respon yang di dapat.

"Pak, berapa lama dari sini ke rumah sakit rujukan?" tanyaku kepada Pak Dedi saat dirinya telah kembali dari mengumpulkan informasi.

"Sekitar 1 jam." Jawabnya.

"Pak, biarin saya yang nyetir ambulance ya pak." Ujarku.

Tanpa persetujuan, ku ambil kunci mobil yang dipegang oleh pak Dedi. Kami memindahkan pasien ke brankar dan langsung dibawa ke ambulance. Setelah semuanya siap, aku mengendarai ambulance dengan cepat. Walaupun sempat kalut , tetapi aku coba tetap tenang karena ini pertama kalinya aku menemukan kasus amputasi.

Sekitar 45 menit kami sampai di rumah sakit rujukan, itu berarti aku menghemat sekitar 15 menit dari waktu perkiraan. Bukannya aku mau kebut-kebutan saat mengendarai ambulance, tetapi aku menghitung waktu yang bisa digunakan secepat mungkin agar pasien bisa tertolong. Kami melakukan serah terima pasien dan seluruh berkas yang ada. Setelah semuanya selesai dan keluarga pasien datang, kami bersiap kembali ke asrama.

"Saya aja yang nyetir Dok." Kata Dicky dan ku berikan kunci ambulance.

Sekarang aku duduk disamping Hyena, hanya berdua dengannya karena Pak Dedi duduk di depan dengan Dicky. Aku memandang lama wajahnya.

"Ada apa Dok?" tanya Hyena.

"Nggak, emm.. Besok mau main ke tempat Tri?" Mencoba untuk mengalihkan kenyataan bahwa diriku tadi memandangnya.

"Eh beneran besok mau ke tempat Tri?"

Aku langsung teringat kalau Hyena suka dengan teman Taufik dan kejadian semalam terlintas lagi di pikiranku.

Okto, kenapa lo bego banget. Ini Otak juga kenapa nggak ada kerja sama dengan hati sih?

"Eh, kayaknya nggak jadi deh. Lupa besok harus nyusun obat yang udah habis." Jawabku dan aku langsung mengalihkan pandangan.

"Yah, gagal deh ketemu mas ganteng. Coba kemarin dirawat, bisa ketemuan kan." Lirihnya, tetapi masih bisa ku dengar.

Setelah mendengar itu, kesunyian menghinggapi kami bahkan sampai tiba di asrama. Setelah masuk, aku langsung membersihkan diri kemudian rebahan diatas kasur sambil memikirkan perkataan Hyena tadi. Sejujurnya hatiku terasa sakit mendengarnya. Akupun tidak tahu karena apa atau memang ini yang orang-orang bilang namanya cemburu.

Aku bingung dengan perasaan ini. Apakah benar-benar mencintai Hyena atau tidak, akupun tidak tahu. Selain itu, ada beberapa hal yang diriku takut kan, salah satunya yaitu untuk menerima kemungkinan bahwa Hyena mencintai laki-laki itu. Saat ku tenggelamkan kepala di bawah bantal, tiba-tiba saja ide konyol terlintas di otak.

Na, besok bakalan gue suruh lo nyusun segala macem obat yang habis di poli, biar nggak bisa ke tempat Taufik dan ketemu sama laki-laki itu.

*Okto ketawa jahat.

***

Assalamu’alaikum semuaaa...
Balik lagi dengan cerita yang sudah berdebu ini. Semoga suka sama lanjutannya..
Selamat membaca 😍😍😍

Lebih Dari Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang